Rabu, 18 Maret 2009

-29- Sisi Jalanan Seorang Anak Rumahan

Sambil geleng-geleng ingat akan salah satu komentar 'aneh' di blog-nya Arifah, tiba2 ingatanku melayang menuju akhir 2007 lalu. Lagi2 aku geleng2, kali ini sambil mengutuki diri sendiri yang waktu itu telah bersikap begitu bodohnya. Kebodohan yang baru benar2 kurasakan belakangan.

Waktu itu pengumuman penempatan. Aku merasa terlempar dan begitu merana setelah mendengar bahwa Bengkulu akan menjadi tempat tugasku nantinya. Aku benar2 syok, bahkan sampe nangis. Benar2 sesuatu yang tidak wajar menurut kebiasaan seorang aku yang senantiasa berusaha mati2an untuk tidak membiarkan orang2 terdekatku sekalipun melihatku menangis. Egoku benar2 tidak terima. Why me?

Saking penasarannya, aku bertanya pada beberapa teman yang penempatannya balik ke kandang yang tadinya juga aku tuju. Apa yang kutanyakan? Aku menanyakan IPK mereka. Sesuatu yang 'katanya' menjadi salah satu kriteria penempatan. Then what? Seandainya kriteria itu benar, aku merasa tercabik, karena bukan aku yang seharusnya terlempar. Ck ck ck... segitunya Wee.

Untunglah bodohnya gak kelamaan. Aku berenang, tidak hanya terpaku menunggu tenggelam (padahal sebenarnya gak bisa berenang dink :D). Tidak sepantasnya aku menyerah dan mengutuki keadaan, coz tidak pernah ada 'ADA' yang hanya kebetulan di dunia ini. Semua akibat ada sebabnya, dan semua akibat ada hikmahnya. Beruntung, pikiran warasku senantiasa mencari2 hikmah dalam tiap detik berikutnya dari jarum waktu yang selalu berputar.

Kupandangi diriku sekarang. Beda... pasti. Sudah terlalu banyak hal berlaku, dan rasanya terlalu sia2 jika dilewatkan begitu saja. Alhasil, ada banyak seandainya yang sekarang menari2 di benakku. Seandainya aku pulang, belum tentu situasi kerja yang nyaman bisa aku rasakan. Seandainya aku pulang, belum tentu rekan2 sekantor akan menerimaku dengan senang hati. Seandainya aku pulang, belum tentu aku bertemu boz yang gak neko2. Seandainya aku pulang, belum tentu aku bisa menginjak tanah bernama Lebong. Seandainya aku pulang, belum tentu progress bar kemandirianku senantiasa bergerak. Seandainya aku pulang, embel2 nama ortu akan selalu membuntuti setiap lakuku. Dan seandainya aku tidak di sini, belum tentu blog ini ada.

Aku yang dulu adalah aku yang gak berani naek motor gara2 sedikit trauma pernah nabrak trotoar waktu SMU. Sekarang, berpuluh2 kilo juga ayuuukss (yakin?)... Coba kalo aku balik kandang, jangan2 trauma itu bukannya ilang malah semakin menjadi2.
Aku yang dulu adalah aku yang tidak pernah berani menempuh perjalanan sendiri. Bahkan, selama 4 tahun kuliah, baru di tahun terakhir kuliah saja ortu gak nganter balik lagi ke Jakarta kalo aku lagi pulkam dan akan kembali kuliah. Ke Pasar Jatinegara yang hanya sekian menit dari Otista pun, aku gak berani sendiri. Hmm, sebenarnya bukan gak berani siy, cuma gak nyaman aja kalo sorangan, mati gaya euy... Lah sekarang... aku yang notabene anak rumahan malah menjelma anak jalanan. Gak maen antar jemput lagi kalo kemana2. Dan pastinya, bisa lebih taft karena ditempa keadaan.

Itulah... ketika aku meminta pulang, Allah tidak memberiku jawaban "Ya". Dia membuatkan skenario lain untukku. Skenario yang sudah pasti jauh lebih baik daripada sekedar mengiyakan pintaku.


Coz Allah will always answer my requests, not always with a YES, but always with THE BEST.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar