Kamis, 31 Desember 2009

-65- Menit Yang Terbuang

"Demi masa, sesunguhnya manusia kerugian, melainkan yang beriman dan yang beramal saleh." Begitulah syair lagu Raihan yang aku ingat. Kumpulan aksara penyusun syair tersebut serasa melayang2 dalam otakku, menambah rasa kesal yang memang sudah bercokol sedari tadi.

Aku duduk di sana, pada sebuah kursi biru di sebuah bank. Diam, menunggu seseorang yang harus datang menjemput suatu benda dariku. Ahh, semakin kacau balau saja kata2ku. Dalam kebosanan kucoba merangkai beberapa patah kata. Aku berpikir, jika sampai kumpulan kata asal2an tersebut berhasil kuposting pada blogku, tak terbayang sudah berapa banyak menit yang kubuang untuk sekedar menunggu.

Sepuluh, dua puluh, tiga puluh menit berlalu sudah. Terbayang2 beberapa laporan yang bisa kuselesaikan dalam waktu selama itu. Huh, kesalku menjadi2. Buang2 waktu. Tidak tahukah dia bahwa pekerjaan2ku sudah mulai melancarkan aksi teror.

Aku terus menunduk, mengetuk2kan stylus pada layar sekian inchi ini, tak peduli pada beberapa orang yang sedang bertransaksi. Aku bertransaksi dengan diriku sendiri, menghitung2 sisa waktu di hari ini, masih bisakah menyelesaikan beberapa target. Arrgh, kenapa pada saat2 seperti ini menit2 terasa begitu cepat berlalu.

Terpekur kulihat seorang bapak yang sudah sangat renta. Mata dan telinganya sudah tidak berfungsi dengan sempurna. Mungkin kelak pun aku begitu. Berapa banyak waktuku yang terbuang untuk sekedar menunggu, sampai usiaku setua itu. Menunggu, menunggu apapun.

Lalu kuterdiam. Aku kesal karena waktuku terbuang percuma saat menunggu seseorang. Apakah Allah juga kesal ketika aku lebih suka membuang menit2ku untuk nonton film daripada tilawah?!

Minggu, 27 Desember 2009

-64- Memori Si Kecil

"Neneknya Yori yang di sana kan rumahnya gede, Yuk. Ada kolam renangnya. Yori kan dikasih laptop dan PS gitu kalo Yori ke sana.", cucunya ibu kostku terus bercerita. Kalau kuhitung2, sudah sekitar lima belas menit pita suaranya tak jua berhenti bergetar.
"Terus mana laptopnya Yori, kenapa gak dibawa kesini aja?", aku menimpali.
"Gak boleh dibawa, cuma buat di sana aja. Pokoknya kalo Yori ke sana apa yang Yori mau pasti dikasih, minta dibeliin apa aja pasti boleh. Di sana juga ada pembantu.", dia bicara lagi tanpa terlihat berminat break barang sebentar saja.
"Iya?", aku mulai bosan.
"Iya, neneknya Yori kan yang punya bank yang gede itu loh, bla... bla..."

Di lain kesempatan Yori akan bertanya, "Ayuk pernah ke Bandung? Yori di Bandung makan strawberi sepuasnya, uwaknya Yori kan punya kebun stroberi, bla bla bla". Atau, "Ayuk, teman2 Yori yang cowok2 kan banyak yang naksir sama Yori, bla bla". Dan masih banyak obrolan lain yang terlalu rumit diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia.

Huff, gila... rasanya aku tak ingin percaya bahwa ternyata aku kesal pada anak itu. Penting gak sih cerita A, B, C gak jelas kayak gitu, aku membatin. Pikiran tidak normalku ingin mengeluarkan sanggahan2 yang aku yakin dapat dengan mudah mematahkan semangatnya bercerita (yang tidak jarang membual). Tapi alhamdulillah Ya Allah, aku masih waras. Aku masih waras dan benar2 sadar bahwa yang sedang berada di hadapanku, menghalangi siaran berita yang sangat ingin aku tonton, hanyalah seorang anak kelas 4 SD.

###

Waktu itu aku sedang membereskan kamar, mengumpulkan barang2 dan mengelompokkan sesuai jenisnya. Hmm, ternyata selama ini aku tidak sadar bahwa koleksi alat tulisku sudah bejibun. Resiko bekerja dengan data. Oke, kubuat satu paket berisi pensil, pulpen, penghapus dan rautan. Rencananya paket itu akan kuberikan pada Yori. Lalu kubuka pintu kamar sambil memanggil, "Yooooo....". Uupsss, aku berhenti di pintu kamar tanpa menyelesaikan panggilanku.

Yori sedang bermain bekel bersama dua teman sebayanya yang juga masih familinya ibu kost dan kukenal dengan baik. Aku bengong dan bingung. Di sela2 kebengonganku, aku berpikir, apakah lebih baik tidak jadi saja paket itu kuberikan? Atau haruskah kuteruskan saja niatku untuk memberikan paket itu pada Yori? Trus, yang 2 anak lagi gimana? Ahh, bodo amat, mereka kan gak tinggal di sini, yang tinggal di sini kan cuma Yori, jadi wajar aja kalo aku cuma ngasih dia aja.

Namun tanpa sadar kebengongan yang hanya beberapa detik itu telah membawaku untuk menggali kembali memori belasan tahun yang lalu. Dulu, ketika tanteku bertandang ke rumah, aku melihat beliau memberikan sebuah buku telpon magnet kepada kakakku. Aku iri setengah mati. Kenapa cuma kakakku saja yang diberi dan aku enggak? Tante pilih kasih. Lain waktu aku mendapati uwak memberi sebuah gelang tembaga yang cantik kepada kakak perempuanku. Sumpah, aku benar2 iri. Kenapa aku gak diberi? Aku benci orang2 dewasa yang suka pilih kasih. Aku yang saat itu masih SD benar2 kesal. It's not fair. Mereka lebih sayang kakakku daripada aku.

Hmm, semua itu memang hanya pikiran anak2 pada masa pertumbuhannya. Dia tidak tahu bahwa mungkin tante hanya punya satu buku telpon untuk diberikan pada yang lebih memerlukannya. Dia tidak tahu bahwa sebenarnya uwak punya satu gelang lagi yang lupa dibawa. sekarang anak itu tidak lagi punya pikiran childish seperti itu, tapi aku sangat yakin seyakin2nya bahwa tante dan uwakku tidak pernah mengingat kejadian tersebut. Kejadian yang saat itu ternyata sanggup membuat seorang anak sakit hati. Kejadian yang masuk ke dalam memori masa kanak2nya, dan terus mengendap di sana sampai anak itu berusia 24 tahun seperti sekarang.

Begitulah wujud ciptaan Allah, memori si kecil dirancang sangat kuat. Itulah kenapa menghapal Al Quran paling baik dilakukan sedari kecil, karena hapalan2 di masa kecilnya itulah yang akan dibawa sang anak sampai dewasa. Pun setiap rekaman kejadian yang dialami pada masa itu.

Aku kembali ke kamar. Harus bisa kubuat dua paket alat tulis lagi, begitu batinku. Untunglah alat tulis alat tulis itu jumlahnya masih cukup. Setelah jumlah paket sudah pas, baru paket2 itu kuberikan pada ketiga anak yang sedang bermain bekel tadi. Aku bahagia. Alhamdulillah Ya Allah, tak Kau biarkan aku menyakiti hati anak2 itu dan membuat mereka mengingatku sebagai orang dewasa yang pilih kasih.

###

Suatu sore ibu kost teriak2 kencang menyuruh cucunya mandi. "Yoriiiiiii, buruan mandi, dah sore!!!". Yori menimpali tak kalah kencangnya, "Entar aja Yori mandinyaaa." Aku terganggu. Anak ini memang tingkat perlawanannya terhadap orangtua tergolong sangat tinggi. Lalu dengan kalem aku bilang, "Mandilah Yori, udah sore, sebentar lagi magrib loh." Dan dia tak pernah kehilangan jawaban, "Gpp, Yori mandinya ntar malem aja. Ayuk juga kan mandinya malem..." Yaksss $$*&$#$@**#

Ampuni aku Ya Allah. Belum juga aku menjadi ibu. Pantas saja belum kau izinkan aku menikah. Karena untuk dakwah dalam lingkup sekecil ini pun ternyata aku tak becus.

Selasa, 22 Desember 2009

-63- Mother's Day 09

Sejak TK sampai kelas 3 SD, perempuan itu sekolah di Santa Agnes. Kelas 4 pindah ke madrasah yang terletak di dekat rumah. Waktu itu beliau belum bisa baca Quran, kenal huruf arab pun tidak. Tapi lucunya, beliau ikut lomba baca Quran (ayat2 pendek) dan menang. Hehe, katanya itu cuma karena dah hapal suratnya aja. Jurinya gak liat sih bahwa yang dibaca dan yang ditunjuk itu sebenarnya beda :).

Ketika duduk di kelas 3 SMA, perempuan itu sudah mulai mengajar di madrasah. Setelah lulus SMA juga masih ngajar kurang lebih 1 tahun. Kalo denger ceritanya, waktu itu jadul banget. Cewe2 pake pakaian yang atasannya kebaya dan bawahannya kain. Trus kemana2 naik sepeda. Wah, persis seperti gambaran yg ada di film2 lawas.

Setelah 1 tahun lulus SMA, beliau lanjut ke PGSLP. Menjalani pendidikan sebentar lalu diangkat menjadi guru SMP golongan IIa dengan gaji Rp.16.000,-. Dan sampai sekarang beliau tetap menjadi guru SMP bidang studi Matematika dengan masa kerja 30 tahun, dah dapet satya lencana malahan. Wow, perempuan itu memang berjiwa pengajar, makanya hepi2 aja ngajar, gak minat pusing untuk naik jabatan, jadi kepala sekolah misalnya.

Perempuan itu, perempuan yang paling kusayang sepanjang hidupku. Perempuan yang ikut berjilbab setelah terlebih dahulu kakakku dan aku memutuskan untuk berjilbab. Perempuan yg penuh semangat membaca buku Fiqih Wanita yg kubawakan, buku yang aku sendiri belum mengkhatamkannya. Perempuan yang rajin shaum sunnah dan shalat malam untuk mendoakan anak2nya. Perempuan yg hampir berusia 52 tahun namun tetap penuh ghiroh. Perempuan sederhana yang gak neko2, berperasaan halus dan tak pernah menuntut. Perempuan yg cenderung lebih mudah dinego dan diajak kompromi. Perempuan yang tak pernah sekalipun kudengar nada suaranya meninggi ketika bicara dengan suaminya.

Perempuan itu, perempuan yang ketika menyapu lantai tak pernah melewatkan seinci pun kolong tempat tidur untuk disapu. Perempuan yang tdk terlalu bisa protes dan membantah. Perempuan yang selalu repot bikin kue lebaran untuk tamu anak2nya. Perempuan yang rajin meramaikan rumah dengan tilawahnya. Perempuan yang tdk mendorong2 suaminya untuk menjadi pejabat. Perempuan yang hampir setiap hari meneleponku, sekedar bertanya, "Dwi lagi ngapain, sudah makan belum, tadi kemana aja?".

Perempuan itu, perempuan yang menyetrika rok SD-ku dengan sangat teliti, sampai2 banyak yg heran, bagaimana mungkin rokku terplisket dengan sempurna. Perempuan yang repot memikirkan kebaya wisudaku padahal aku sendiri cuek bebek. Perempuan yang sibuk mendorongku pake tas cewek dan bukan ransel. Perempuan yang gak suka ngerumpi sebagaimana ibu2 pada umumnya. Perempuan yang gak pernah minta dibeliin ini itu kepada anak2nya. Perempuan yg lebih suka naik ojek cewek klo dari pasar. Perempuan yang selalu setia mendengarkan cerita2ku yang gak penting. Perempuan yang gak suka pake jilbab pendek. Perempuan yang ingin selalu kupeluk dan ingin selalu kulihat binar indah matanya. Perempuan yang aku tak rela ia tersakiti secuil apapun. She is my mom, my beloved one.

Sungguh, ribuan kata dan cerita tak kan mampu menggambarkan sempurnamu di mataku. Sungguh, rangkaian aksara tak bertepi tak kan pernah sanggup mengukur betapa besar cintaku padamu. Kuucapkan selamat hari ibu buat ibuk. You are my heaven, oh my dearest mother... ^_^

Selasa, 01 Desember 2009

-62- Kucing-Kucing Durhaka

Di rumahku sering berkeliaran makhluk2 kecil berkaki 4. Habitatnya di luar rumah, tapi ketika tuan rumah lengah, mereka akan beringsut mengamankan diri menuju ke dalam, mencari sudut2 untuk bersembunyi. Tak menemukan sudut, mereka mengintai lemari. Abnormal.

Ada 4 ekor kucing yang biasa kulihat di rumah. Yang paling tua adalah seekor induk kucing bernama Hinata. Warnanya abstrak campuran hitam, kuning dan sedikit putih. Tubuhnya kecil, tipe2 pengalah dan sepertinya selalu senang hati untuk dizolimi.

Tiga ekor kucing lainnya adalah kucing jantan yang durhaka. Yang paling tua bernama Item. Warnanya dominan putih dengan sedikit motif hitam. Item adalah anak generasi pertama dari Hinata. Dulu ibuku sempat protes kenapa kucing putih dinamai Item, tapi karena waktu itu masih ada seekor kucing lagi bernama Putih, akhirnya ibu acc deh, hehe. Oiya, meskipun Item adl anak dari Hinata, tampangnya sudah seperti kakek kucing, kumal dan tua. Kerjaannya berantem melulu sih. Dan Item ini adalah kucing durhaka yg pertama. Kebiasaannya merebut makanan induknya, meskipun makanan itu sudah berada di mulut Hinata. Ck ck ck, Hinata pun bersukacita dizolimi seperti itu.

Dua ekor kucing jantan berikutnya adalah anaknya Hinata generasi ketiga. Warnanya didominasi putih dengan sedikit aksen kuning kecoklatan. Nama mereka gak jelas. Meskipun dulu adikku menamai mereka Vini dan Vidi, toh sekarang aku lebih suka memanggil mereka Anak Hinata. Nah, 2 terakhir ini adalah yg paling durhaka. Selain suka menggeram dan merampas makanan induknya, kucing2 yg sudah remaja ini pun masih menyusu pada Hinata, padahal Hinata baru saja melahirkan lagi. Benar2 kucing durhaka, morotin gizi induknya. Gak malu sama badan yg nyaris 2x badan induknya. Tapi anehnya, Hinata lagi2 ikhlas dizolimi. Wah wah...

Sambil menunggu roda 4 yg kan membawaku menuju provinsi sebelah, selesai sudah cerita gak penting tentang makhluk berkaki 4 ini. Makhluk2 yg lucu meskipun penganut kebiasaan incest :)

*from my P1i