Selasa, 12 Januari 2010

-66- SITIPHOBIA

Grudug... grudug... brakkkkkkkkk...

Aku terkejut, refleks menengadahkan wajah menatap langit2 kamar kostku. Suara apa itu? Sebuah pertanyaan retoris, tidak butuh jawaban karena aku sendiri sebenarnya sudah tahu jawabannya. Tak ayal lagi, suara itu pasti hasil jerih payah jenis hewan yang paling menjijikkan sedunia. Musuh bebuyutan Si Kucing Tom.

Tanpa sadar aku menggeleng2kan kepala. Entah sejak kapan aku menjadi seorang pembenci tikus. Benar2 benci dan jijik. Temanku bilang aku phobia, takutku berlebihan, terlalu berlebihan. Sampai2 aku sendiri pun tidak yakin, apakah aku sekedar jijik atau memang benar2 takut. Aku tak kuasa untuk tidak menggidikkan bahu begitu teringat pengalaman2 sebelumnya yang berhubungan dengan binatang itu.

Dulu sekali, di rumahku pernah muncul seekor tikus curut kecil. Ia tersesat di ruang makan. Aku masih sangat ingat perasaanku waktu itu, benar2 was2 kalau2 ia berjalan ke arahku. Refleks kuangkat kaki, mendekam di atas kursi. Tidak sedikitpun aku berani bergerak. Tubuhku kaku, tapi tidak lidahku. Aku berteriak2 heboh dan baru berhenti setelah Bapak berhasil mengatasinya.

Aku, kakakku dan sepupuku pernah menginap di rumah salah seorang saudara jauh di Palembang. Rumahnya bermodel panggung, jadi kami hanya akan sampai di kamar mandi setelah menuruni sebuah tangga kayu di dapur. Ketika aku hendak ke kamar mandi, tanpa sengaja aku melihat seekor tikus berada di atas piring bekas makan yang diletakkan di lantai. Tikus itu layaknya hidangan yang diletakkan di dalam piring. Piringnya berukuran besar dan tikus itu memenuhinya. Aku histeris. Itulah pertama kalinya aku tahu bahwa di dunia ini ada tikus sebesar itu. Tikus itu pun tak kalah kaget. Ia segera beranjak meninggalkan makanannya.

Satu hal yang paling mengesankan tentang sebuah kota bernama Jakarta. Sepertinya di kota ini sudah terlalu banyak hal2 yang menyimpang dari kodratnya. Aku benar2 kagum, bagaimana mungkin binatang berkumis tak lagi punya taring di hadapan binatang yang seharusnya menjadi mangsanya. Tikus2 berkeliaran dengan santainya, melewati kucing2 yang terlihat mengalami kreatinisme. Yup, ketika kucing2 begitu kerdil, tikus2 sehat walafiat dengan ukuran tubuh yang WAH. Aku yakin perangkap tikus di pasaran tidak akan mampu memenjarakan tikus2 yang kelebihan hormon itu.

Kakakku dan aku menempati sebuah rumah kontrakan berlantai dua di Jakarta. Semua baik2 saja sampai bencana itu muncul. Entah dari mana tikus2 mulai berdatangan.Pernah suatu ketika aku ingin ke kamar mandi. Begitu pintunya kubuka, seekor tikus merayap cepat keluar dari kamar mandi, nyaris menyentuh kakiku. Aku membeku, ketakutan setengah hidup. Lain waktu di tengah malam aku ingin ke bawah (kebetulan rumah itu kamarnya berada di lantai dua). Saat kuinjakkan kaki pada anak tangga pertama, serta merta binatang jelek itu lari tunggang langgang entah dari mana dan mau kemana, membuatku nyaris terjatuh saking kagetnya. Aku benar2 benci. Binatang itu sukses membuatku menahan pis karena tidak berani keluar kamar di malam hari. Dan itu tidak hanya berlangsung satu, dua, atau tiga kali saja.

Rumah yang lain lagi aku tempati bersama seorang teman. Langit2nya sangat tinggi, tak berpelafon. Hanya ada tripleks yang menutupi gentengnya dari pandangan. Secara logika tidak ada celah yang memungkinkan bagi tikus2 untuk bersarang di rumah itu. Namun rupanya tikus tak mengenal logika. Entah bagaimana caranya mereka bisa membuat kegaduhan di atap rumah yang berada di lantai dua tersebut. Kegaduhan ekstrem yang mengerikan. Jika mereka terlalu asik bercinta di atas sana, aku yakin akan ada yang tidak sengaja terjatuh, tepat di situ, di kamar kami. Itulah kenapa, sangat bisa dipastikan bahwa hampir setiap malam aku tidur dinaungi rasa was2.

Saat itu hampir tengah malam. Aku sedang bersama laptopku di kamar ketika kudengar suara cit cit cit. Aku cuek, sampai kemudian aku melihat sesuatu yang kecil terjatuh dari atap. Aku diam sejenak, sebelum berlari pontang panting begitu sadar bahwa yang jatuh tadi adalah seekor bayi tikus. Kehebohan dimulai. Temanku yang sedang berada di depan komputer di ruang depan ikut heboh ketika tahu ada tikus yang terjatuh. Meskipun dia juga takut, tapi ketakutanku benar2 tak terkalahkan. Aku tidak bisa diandalkan untuk urusan ini. Aku menyingkir sejauh2nya. Temanku mencoba mengusir bayi tikus yang sepertinya belum lancar berjalan itu. Si tikus bergerak, menuju ke bawah lemari. Kejar2an tak terelakkan. Kamar itu sudah kacau balau. Lemari2, tv, kasur, semua tak luput dari sentuhan kasar. Si tikus tak kunjung bisa diusir keluar. Kami menyerah, mengesampingkan rasa malu, mengetuk pintu tetangga yang dihuni 2 orang cowok adik tingkat di kampus. Salah seorang terlihat jijik begitu mendengar bahwa permasalahan yang harus mereka selesaikan berhubungan dengan tikus. Namun sepertinya harga diri mereka sangat mahal. Mereka menyanggupi untuk membantu. Tak kalah heboh, merekapun berusaha menangkap si tikus sambil berteriak2. Kasihan sekali tikus kecil itu, nasibnya sangat tragis. Ia dibantai oleh 2 orang cowok yang sebenarnya takut. Mereka secara brutal memukulinya dengan gagang sapu sampai tewas. Lalu bangkainya dibuang entah kemana. Semua selesai, meskipun aku tidak benar2 lega. Aku dan temanku harus kerja rodi mengepel seluruh rumah di tengah malam. Benar2 keren.

Di hari yang berbeda, ketika aku bangun suatu pagi. Aku masuk kamar mandi dan berteriak... arrrrggggggghhhh. Mimpi apa aku semalam sampai2 pagi harinya aku menemukan seekor tikus remaja terjebak di dalam bak mandi yang airnya tinggal setengah. Mengerikan. Dan aku harus membagi rasa ngeri ini kepada teman serumahku. Aku membangunkan temanku itu, memberitahunya kabar yang aku yakin sangat tidak ingin ia dengar. Perdebatan tak terelakkan. Tidak seorangpun yang mau menjadi pahlawan dengan mengeluarkan si tikus dari dalam bak. Kami harus memikirkan solusi. Percuma berdebat karena pasti tidak akan selesai sampai sore. Temanku mengusulkan untuk meminta bantuan teman cowok lain yang tinggalnya tak jauh dari situ. Aku setuju2 saja. Tapi begitu dia minta supaya aku saja yang bilang, aku menolak. Malu rasanya minta tolong untuk masalah seperti itu. Tapi ternyata tetap saja, rasa jijik dan takutku masih lebih besar. Aku lalu setuju untuk menelepon teman cowok tadi, meminta bantuannya untuk mengeluarkan tikus dari bak mandi dengan perjanjian bahwa menguras bak setelahnya bukanlah bagianku. Karena bagaimanapun, semua hal yang berhubungan dengan tikus benar2 menjijikkan buatku.

Begitulah. Kadang aku heran kenapa tikus bisa ada dimana2. Seperti halnya di tempat kostku sekarang. Tidak jarang aku mendengar tikus2 heboh di atas sana, seolah2 sedang berkelahi. Juga pernah ada tikus yang panik dan berlari menyentuh kakiku ketika aku baru saja keluar dari kamar mandi. Dan sampai sekarang pun aku masih bisa mengingat bagaimana rasanya saat itu. Rasa yang bisa membuatku merinding ketakutan. Memang begitulah. Jika sepupu2ku yang masih kecil takut pada hantu di malam hari, maka aku takut pada segala jenis siti, si tikus, bahkan yang ukurannya jauh lebih kecil daripada tikus2 Jakarta.