Selasa, 28 Juni 2011

-82- Catatan Akhir Silaturahim Kali Ini

Aku lebih suka menyebutnya silaturahim, dimana aku mendatangi beberapa rumah warga untuk mendapatkan data. Aku bertanya2 tentang a, b, atau c kepada sekian rumah tangga yang terpilih sebagai sampel untuk mewakili suatu populasi. Mungkin orang2 di sana lebih suka menyebutnya survei, terdengar lebih cerdas dan intelek. Dan ketika aku sedang ingin merasa intelek, aku juga akan menggunakan diksi itu.

Tema silaturahimku kali ini adalah tentang konsumsi alias pengeluaran sehari2. Akan terlalu panjang jika aku menjabarkan tentang apa saja yang ingin ditangkap disana. Dan aku pun sedang tidak ingin berpusing2 ria memikirkan banyak aspek. Cukup satu aspek saja yang akan aku ambil untuk kupikirkan sedikit, sejenak, selintas dan sekompleks mungkin. Sekedar ingin melihat dan berargumentasi secara bodoh.

Pertanyaan yang biasanya tidak pernah aku lewatkan adalah berapa rupiah yang dikeluarkan oleh rumah tangga yang bersangkutan untuk jajan anak2nya selama sehari. Jawabannya beragam, mulai dari satu anak 2000 sehari, 5000 sehari, 3000 pagi dan 3000 siang, ataupun 10.000 sehari. Terlihat biasa saja pada awalnya, tapi menjadi luar biasa menurutku ketika kemudian aku melihat hal2 lain yang rasanya menjadikannya tidak berlangsung serasi.

Sebuah rumah tangga terdiri dari seorang nenek dan seorang cucu yang duduk di kelas 4 SD. Si cucu biasa dibekali uang jajan 3000 rupiah sebelum berangkat ke sekolah. Siang sampai sore hari, biasanya si cucu lagi2 minta jajan dan biasanya menghabiskan 2000 rupiah. Berarti, dalam sehari 5000 rupiah harus dikeluarkan untuk membiayai jajan si cucu, 75.000 seminggu, dan 300.000 sebulan (hari libur tetap sama). Sementara itu, untuk membiayai hidup sehari2 sang nenek mengandalkan dana pensiun yang hanya 300.000 sebulan, ditambah beberapa rupiah hasil kiriman anaknya yang tidak rutin. O oww, ternyata hanya untuk uang jajan saja, dana pensiun untuk sebulan habis tanpa sisa. Anehnya, sang nenek kok manut aja sih...

Rumah tangga yang lain berdomisili di wilayah pasar. Sudah bisa dibayangkan betapa beranekaragamnya jajanan yang tersedia, yang kemudian berhasil menyedot perhatian tidak sedikit anak2, termasuk anak2 di rumah itu. Ada 2 anak usia TK dan SD di sana. Setiap harinya orangtuanya menghabiskan sekitar 20.000 rupiah untuk jajan mereka, baik di sekolah maupun di rumah. Kedua anak itu terbiasa beraktivitas tanpa dimulai dengan sarapan di pagi harinya, bahkan makan siang dan makan malam di rumah pun mereka malas. Mereka cuma mau jajan, jajan, dan jajan. Laparnya perut akan sangat mudah diselesaikan dengan hanya dengan jajan. Padahal jajanan yang mereka konsumsi itu jauh dari bergizi. Lagi2... anehnya orang tuanya dengan ikhlas mengamini saja.

Bergeser beberapa desa ada rumah tangga lain dengan seorang balita berumur 2 tahun di dalamnya. Aku takjub begitu melihat si balita yang sudah sangat familiar dengan rupiah. Memang dia belum mengerti kegunaan rupiah untuk membeli rumah atau mobil. Tapi si balita yang masih imut itu akrab sekali dengan warung kecil di seberang rumahnya. Setiap hari ia tidak pernah absen mengunjungi warung itu. Tidak lain dan tidak bukan adalah untuk jajan ini itu. Sang ibu yang suaminya hanya seorang buruh tani harus menghabiskan 5000 rupiah sehari untuk jajan si buah hati. Aku melihatnya sambil bertanya2, begitukah cinta wahai ibu?

Cukuplah tiga rumah tangga saja dari sekian banyak rumah tangga dengan kebiasaan jajan anak2 yang aneh menurutku. Aku tidak mempunyai hak sama sekali untuk mengatakan bahwa mereka salah. Aku hanya ingin semakin bersyukur atas hidupku melalui gambaran hidup orang lain. Aku bersyukur semenjak kecil tidak pernah dijatah dengan pasti sebesar sekian rupiah untuk jajan sehari. Aku bersyukur orangtuaku telah berhasil membentukku untuk mengawali kegiatan sehari2ku dengan sarapan. Aku bersyukur atas cara orangtuaku membiasakanku untuk benar2 makan, di rumah, tiga kali sehari, daripada jajan yang gak jelas di luar sana. Aku bersyukur untuk semuanya.

***

Tiba2 aku teringat pada keponakanku yang baru 2,5 tahun. Dia sehat, pintar, aktif, ceria, dan makannya pun banyak. Dia belum kenal istilah jajan dan jajanan. Alhamdulillah atas itu, karena memang belum waktunya untukmu sayang... Dan jika nanti aku menjadi orangtua, menjadi ibu, mohon jauhkanlah aku dari perilaku dzalim kepada anak2ku Ya Rabb, baik sengaja ataupun tidak. Karena ala bisa karena biasa. Dengan kebiasaan baik insya Allah dengan kehendakNya akan menghasilkan generasi yang baik pula.

(berhenti sejenak di tengah entri dokumen kuning)