Selasa, 31 Maret 2009

-31- Independent Woman

Judul di atas aku comot dari tulisannya Septi tentang cewe mandiri. Tulisan tersebut mengingatkanku akan obrolan dengannya saat makan siang di Solaria, Mega Mall Bengkulu, sembari nungguin hujan yang makin ditunggu malah makin deras. Waktu itu Septi makan kwetiau sedangkan aku pake ayam rica2. Dan apapun makanannya, minumnya es teh manis. Hahaha, gak penting banget siy...

Aku hanya ingin sedikit beropini, opini ringan, santai, dan tidak penting tentang independent woman tersebut. Cewe mandiri... Tidak bisa dipungkiri bahwa tipe cewe yang ini bisa membuat cowo2 mundur teratur coz ngerasa gak dibutuhkan layaknya seorang superhero. Aneh memang. Beberapa cowo prefer ke tipe2 cewe yang rada2 manja. Karena lucu n ngegemesin kali yah :D Eh, balik lagi ke cowo2 yang mundur teratur tadi. Lebih spesifik lagi, tipe cewe mandiri yang dimaksud adalah mandiri secara finansial, dan didukung dengan jenjang pendidikan yang juga tinggi. Komplit dah...

Alur logikaku bilang gini, kalau seseorang itu, baik laki2 maupun perempuan bisa menempuh pendidikan yang setinggi2nya, bagus kan. Tidak secuil pun aku menemukan sesuatu yang buruk dari hal tersebut. Pun ketika seseorang itu bisa mengerjakan sesuatunya sendiri tanpa mengandalkan orang lain, burukkah itu? Tidak sama sekali.

Namun yang berlaku di sini adalah rasa, dan yang namanya rasa gak bisa diukur pake logika. Aku ingat cerita kakakku waktu masih di awal2 pernikahan dulu. Kebetulan kakakku itu termasuk tipe2 cewe mandiri. Anti banget minta tolong ma orang, kecuali kalau sudah sangat2 terpaksa. Nah, ceritanya kakak iparku kan baru tahu bahwa kakakku pembawaannya gitu. Doi maklum, secara kakakku kan anak tua, jadi dah biasa direcokin dan direpotin, terutama olehku. Akhirnya, secara verbal alias berkomunikasi langsung, kakak ipar minta pada kakakku supaya gak pake sungkan untuk mengandalkannya dalam banyak hal. Dia menjelaskan bahwa memang begitulah dalam berumah tangga, bahwa kakakku sudah tidak sendiri lagi dan sudah punya pemimpin, tempat untuk menggantungkan hidupnya. Hehe, terasa lucu... tapi menurutku begitulah seharusnya. Rasa dipercaya, dibutuhkan, diinginkan, dihormati, de el el, de es te yang gak bisa dijelaskan dengan logika, tetap bisa dikomunikasikan dengan baik bersama pasangan.

Ahh, lagi2 tulisanku ngelantur. Jadi apa kesimpulannya?

Jika wanita adalah independent variable, maka wanita adalah X. Lalu pria adalah Y alias dependent variable. Nilai X itu adalah tetap, sedangkan nilai Y adalah tergantung pada variabel X penyusunnya. Jika X itu tersusun atas X, maka Y tersusun atas X, tidak hanya satu X, melainkan bisa dua, tiga, atau empat X. Sigh.....

Kamis, 19 Maret 2009

-30- You Make Me Think*)

Akhwat A
Di balik pembawaannya yang pendiam, ia adalah seorang ambisius, penuh tekad akan sesuatu, dan senantiasa berusaha untuk mewujudkan impiannya. Terkesan individualis tapi menyimpan setiap detil perhatian akan suara2 di sekitarnya. Seolah2 tidak peduli namun ia mendengar. Tidak begitu mengkhawatirkan pandangan orang lain selama ia nyaman dengan aktivitasnya. Tidak suka menjadi pusat perhatian. Pekerja keras dan tidak mudah jatuh cinta. Terkesan tertutup padahal sebenarnya bisa terbuka. Seorang yang teguh memegang prinsip, tidak peduli meski dunia melecehkannya. Yakin akan kemampuan diri sendiri. Senantiasa merekam setiap kebaikan serta kezaliman yang menghampirinya. Mudah tersinggung meski tersimpan.

Akhwat B
Dengan gayanya yang lembut ia menggambarkan bagaimana seorang perempuan seharusnya. Kalem tetapi aktif. Suka membuat rencana serta to do list. Tipe pengayom bagi yang lebih muda, sopan terhadap yang tua, perhatian terhadap sesama. Berkepribadian keras di balik tampilan yang lembut. Rajin. Gampang ilfil pada yang tidak rapi. Agak saklek. Di luar dicap pendiam. Bijaksana. Bagus secara fisik, bagus secara ibadah. Tidak suka bergantung pada orang lain. Tidak pernah menunjukkan kemarahan. Sangat tidak menyukai sesuatu yang bertentangan dengan apa yang ia yakini. Suka membaca Al Quran dan menyukai tipe ikhwan yang bacaan Al Quran-nya bagus. Polos dan tidak mempunyai sisi bad girls.

Akhwat C
Terkesan sebagai akhwat biasa, namun ibadahnya luar biasa. Bukan aktivis di luar tapi hebat di dalam. Tipe teman yang sangat baik. Mudah dihinggapi perasaan bersalah dan sering merasa khawatir akan ketidaknyamanan orang lain terhadapnya. Tipe pesimistis dan senantiasa membutuhkan motivasi dari luar untuk mendongkrak semangatnya. Polos dan naif. Tidak terlalu memperhatikan penampilan. Perasaannya halus. Mudah tertekan. Senantiasa berusaha ada untuk teman2nya. Sangat mudah kagum dan jatuh cinta. Menyukai setiap hubungan pertemanan. Sering underestimate terhadap diri sendiri. Perhatian, sabar, dan tidak pernah bisa marah.

Akhwat D
Termasuk tipe ceriwis. AKtif. Cenderung memaksakan pendapat, pandangan, juga kehendak. Akhwat dengan semangat dakwah tinggi. Mobile. Mempunyai banyak amanah namun agak sedikit 'ember'. Sangat perhatian terhadap teman2nya. Pintar. Tidak menyukai tipe 'anak gaul'. Penasehat yang baik. Tidak menyukai aktivitas semacam 'nongkrong di kantin'. Lucu. Bijak tapi kadang egois. Menyenangkan jika sudah kenal. Sangat tidak menyukai ikhwan yang mengutamakan fisik.

Akhwat E
Kalem, lembut, termasuk pendiam (kalau di luar). Feminin dan juga dewasa. Suka mempelajari sesuatu yang baru. Tipe individualis. Jarang bersosialisasi dengan sekitarnya. Susah untuk menyatakan suatu penolakan. Agak mudah tertekan. Mudah kagum pada ikhwan yang cerdas dan mempunyai suatu keahlian. Termasuk tipe high class.

Akhwat F
Agak sedikit 'kasar' untuk ukuran sukunya. Ceriwis. Polos. Kaya ilmu agamanya. Kadang agak 'pedas' dalam berbicara. Sangat tidak menyukai ikhwah dengan ilmu tanpa amalan. Agak sedikit malas. Cenderung santai. Menyukai tipe ikhwan yang tegas. Suka menulis. Kadang tidak mempedulikan kekesalan orang lain terhadapnya. Enak diajak seru2an.

---

Ya Allah... masih banyak manusia2 lain yang Engkau ciptakan dengan kepribadiannya masing2. Dengan segala kekurangan dan kelebihannya. Dengan segala baik buruknya. Dengan warna masing2, dengan gaya masing2, juga dengan pandangan masing2.

Seandainya hidup ini adalah puzzle, maka kepingan2nya adalah penggambaran kepribadian manusia. Akan ada sudut dan akan ada yang mengisinya. Akan ada lubang dan akan ada yang menambalnya. Tidak hanya ada segiempat, melainkan ada segitiga, segilima, juga segi2 lain yang tak akan habis bentuk dan rupanya. Semua ada untuk saling melengkapi.
Aku bersyukur kepadaMu... atas aneka ragam pribadi yang telah menghiasi dan memperkaya hidupku...

*) ditulis 1,5 tahun yang lalu

Rabu, 18 Maret 2009

-29- Sisi Jalanan Seorang Anak Rumahan

Sambil geleng-geleng ingat akan salah satu komentar 'aneh' di blog-nya Arifah, tiba2 ingatanku melayang menuju akhir 2007 lalu. Lagi2 aku geleng2, kali ini sambil mengutuki diri sendiri yang waktu itu telah bersikap begitu bodohnya. Kebodohan yang baru benar2 kurasakan belakangan.

Waktu itu pengumuman penempatan. Aku merasa terlempar dan begitu merana setelah mendengar bahwa Bengkulu akan menjadi tempat tugasku nantinya. Aku benar2 syok, bahkan sampe nangis. Benar2 sesuatu yang tidak wajar menurut kebiasaan seorang aku yang senantiasa berusaha mati2an untuk tidak membiarkan orang2 terdekatku sekalipun melihatku menangis. Egoku benar2 tidak terima. Why me?

Saking penasarannya, aku bertanya pada beberapa teman yang penempatannya balik ke kandang yang tadinya juga aku tuju. Apa yang kutanyakan? Aku menanyakan IPK mereka. Sesuatu yang 'katanya' menjadi salah satu kriteria penempatan. Then what? Seandainya kriteria itu benar, aku merasa tercabik, karena bukan aku yang seharusnya terlempar. Ck ck ck... segitunya Wee.

Untunglah bodohnya gak kelamaan. Aku berenang, tidak hanya terpaku menunggu tenggelam (padahal sebenarnya gak bisa berenang dink :D). Tidak sepantasnya aku menyerah dan mengutuki keadaan, coz tidak pernah ada 'ADA' yang hanya kebetulan di dunia ini. Semua akibat ada sebabnya, dan semua akibat ada hikmahnya. Beruntung, pikiran warasku senantiasa mencari2 hikmah dalam tiap detik berikutnya dari jarum waktu yang selalu berputar.

Kupandangi diriku sekarang. Beda... pasti. Sudah terlalu banyak hal berlaku, dan rasanya terlalu sia2 jika dilewatkan begitu saja. Alhasil, ada banyak seandainya yang sekarang menari2 di benakku. Seandainya aku pulang, belum tentu situasi kerja yang nyaman bisa aku rasakan. Seandainya aku pulang, belum tentu rekan2 sekantor akan menerimaku dengan senang hati. Seandainya aku pulang, belum tentu aku bertemu boz yang gak neko2. Seandainya aku pulang, belum tentu aku bisa menginjak tanah bernama Lebong. Seandainya aku pulang, belum tentu progress bar kemandirianku senantiasa bergerak. Seandainya aku pulang, embel2 nama ortu akan selalu membuntuti setiap lakuku. Dan seandainya aku tidak di sini, belum tentu blog ini ada.

Aku yang dulu adalah aku yang gak berani naek motor gara2 sedikit trauma pernah nabrak trotoar waktu SMU. Sekarang, berpuluh2 kilo juga ayuuukss (yakin?)... Coba kalo aku balik kandang, jangan2 trauma itu bukannya ilang malah semakin menjadi2.
Aku yang dulu adalah aku yang tidak pernah berani menempuh perjalanan sendiri. Bahkan, selama 4 tahun kuliah, baru di tahun terakhir kuliah saja ortu gak nganter balik lagi ke Jakarta kalo aku lagi pulkam dan akan kembali kuliah. Ke Pasar Jatinegara yang hanya sekian menit dari Otista pun, aku gak berani sendiri. Hmm, sebenarnya bukan gak berani siy, cuma gak nyaman aja kalo sorangan, mati gaya euy... Lah sekarang... aku yang notabene anak rumahan malah menjelma anak jalanan. Gak maen antar jemput lagi kalo kemana2. Dan pastinya, bisa lebih taft karena ditempa keadaan.

Itulah... ketika aku meminta pulang, Allah tidak memberiku jawaban "Ya". Dia membuatkan skenario lain untukku. Skenario yang sudah pasti jauh lebih baik daripada sekedar mengiyakan pintaku.


Coz Allah will always answer my requests, not always with a YES, but always with THE BEST.

-28- N P W P

Sudah sebulan ini aku benar2 bersentuhan dengan tugas2 bendahara. Tadinya masih dalam tahap belajar, melihat, mencerna, lalu melakukan. Jabatan yang tadinya mampu membuatku merasa sengsara karena gak ada alasan sama sekali untuk menolaknya, lama kelamaan ternyata mempunyai nilai rasa yang spesial. Nilai rasa yang berwujud pengalaman dan pelajaran hidup.

Menjadi bendahara berarti aku harus benar2 teliti terkait setiap rupiah yang disetujui untuk dikeluarkan. Aku juga harus mempunyai catatan2 yang lengkap mengenai keadaan keuangan terkini, jika tidak ingin kelabakan belakangan. Dan yang pasti, aku mulai menyukainya. Menyukai kebingunganku ketika ngitung duit yang gak pernah klop. Menyukai tarian jariku di atas keyboard ketika menjalankan aplikasi keuangan. Juga menyukai menjadi money manager untuk keuangan pribadiku sendiri.

Thanx to Yuk Meli yang masih bersedia meng-handle aplikasi SAKPA dan Gaji. Thanx so much atas pengertiannya bahwa gak mungkin semua diserahkan padaku, sementara Statistik Distribusi dan Nerwilis pun masih ada di pundak ini. Begitulah, satker 668540 yang hanya diusung oleh 5 orang saja, memang harus gotong royong agar tetap dapat berdiri tegak.

Jadi apa hubungannya dengan 14.698.637.7.327.000? Sudah beberapa kali aku koar2 minta NPWP toko tempat belanja ATK, hotel tempat pelatihan, ataupun rekanan penyedia catering... akhirnya aku punya NPWP juga, hehe... Jadi gak khawatir lagi ketemu orang pajak dan ditanyain, "Sudah punya NPWP belum?" Kyaaaa, garink...

Inget NPWP jadi inget pajak. Sumpah, awalnya aku gak ngerti sama sekali tentang pajak. Aku gak tahu bahwa belanja di atas 1 juta itu kena pajak. Aku gak tahu bahwa besarnya PPN itu adalah nominal dibagi 11. Aku juga gak tahu apa2 soal PPh, entah itu pasal 21,22 atau 23. Yang pasti, aku gak ngeh tentang semua keribetan yang kadang terasa sangat2 njelimet tersebut.

Well, dengan begitu berarti aku punya 2 NPWP. Yang satu atas namaku, walau sampai sekarang aku masih belum tahu apa gunanya. Dan yang satunya lagi atas nama bendahara. Jabatan yang paling banyak megang duit (padahal bukan juga duit sendiri), serta jabatan yang membuatku hapal sederetan karakter 0027.0/054-01.2/VIII/2009.

Sabtu, 14 Maret 2009

-27- Walimatul Ursy

"Datenglah wi. Tega nian dgn ayuk, maso dak datang."
Sender: Endah Saft
+628526718xxxx

Sms di atas mendesak masuk ke inbox hape-ku, setelah beberapa waktu sebelumnya kukirimkan sms ini ke nomor pengirimnya: "Yuk, klo misalny aq idak bisa dtg ke acara ayuk besok, cakmano yuk? Marah dak ayuk?"

Hufffhhh, jadi inget gimana kemarin di kantor. Sampe kantor jam setengah 9, langsung nyalain PC, konek internet, buka2 oggix (nyebelin ni situs, kok shoutbox ku jadi kacau), sambil nge-run aplikasi SPM2009.

Rencananya siang itu juga (sekitar jam 2an) aku meluncur ke Kepahiang, trus besok paginya langsung ke Bengkulu, ke nikahannya Yuk Endah. Tapi boz ngajak berangkat jam 1, abis jumat (aku kan berencana nebeng boz), yakkks mana sempat, blom siap2 neh, dah gitu ada SSP catering yg blm diambil, surat tugas plus SPPD yg belum dibuat juga, dan yg pasti, aku gak suka ditunggu, serasa diiket bom waktu.

Akhirnya aku batal berangkat siang itu. Sambil memikirkan kemungkinan terburuk bahwa aku gak dateng ke acaranya Yuk Endah, aku ngomel dalam hati... kenapa juga Yuk Endah bikin acara hari Sabtu, kan Jumat-nya gak libur, mana lagi banyak kerjaan juga. Tapi kalo aku gak datang rasanya kok kurang ajar banget. Aku kan sering nginep di rumahnya Yuk Endah, dah gitu doi juga yang selalu jd driver plus nyediain mobilnya gratis buat ditebengi, mengantarku jalan, trus ngajak makan, hehe.

Berhubung aku sudah bilang Insya Allah, maka sepenuh hati aku harus berusaha memenuhinya. Kalau ternyata nanti benar2 gak bisa, yah... apa boleh buat. Kucoba berangkat dengan travel paling pagi hari ini, semoga bisa sampai di sana tepat waktu, minimal gak telat2 banget lah.

Okay sist, tunggu aku di acara walimahmu, then tunggu giliranmu menghadiri walimahku, hehe....

Barokallahulaka wabarokaalayka wajamaabainakuma fiikhoir.

Iseng kukirim sebuah sms, "Gimana Yuk, rasanya dah punya husband?"

Tit dit, hapeku berbunyi, kupencet2 keypadnya dan balasan sms ku td muncul di layar, "Enak. Dapet mahar."

-from my P1i-

Kamis, 12 Maret 2009

-26- N T U

Akhir-akhir ini pers heboh dengan berita kematian David Hartanto Widjaya, mahasiswa Nanyang Technological University (NTU) Singapura asal Indonesia ini. Setiap aku memantau berita lewat detikcom, pasti selalu ada postingan tentang mahasiswa yang dikabarkan bunuh diri setelah menikam profesor yang membimbing tugas akhirnya tersebut. Banyak spekulasi bermunculan terkait kematiannya. Tapi, bukan itu yang ingin aku tulis di sini.

Setelah mendengar (atau membaca) berita ini, yang pertama kali menarik perhatianku adalah "Nanyang Technological University", NTU. Tiga huruf tersebut mampu membangkitkan kenangan terkait dua orang temanku yang pernah bernostalgia tentang seseorang. Seorang Indonesia yang kuliah di universitas ternama ini. Dan kenangan tersebut, terasa menggelikan jika aku ingat kembali.

Dua orang teman itu adalah Alma dan Dc. Hehe, sori fren, dengan gamblangnya kutulis nama kalian di sini, karena aku yakin kalian berdua belum pernah tersesat lalu terpaksa masuk kemari. Secara terpisah mereka berdua menceritakan tentang sebuah nama, Bara Kukumamia. Gak tahu yah, bener ato kagak ni ejaannya. Wong aku juga baru tahu nama lengkapnya Mr. Bara ini setelah Dc ngasitau.

Namanya Bara. Aku sudah tahu dari dulu namanya Bara. Aku tahu sejak nama Bara dikenal karena dulu pernah memenangkan kuis LG Prima di salah satu stasiun TV swasta (lupa euy stasiun apa, kalo gak salah siy, stasiun TV yang sekarang dipenuhi sinetron2/film2 mistis bergenre komedi yang sangat lucu saking noraknya). Dulu aku benar2 tertarik akan sosok ini. Selain pinter, ada hal2 lain tentangnya yang aku yakin mampu membuat banyak orang bersimpati. Tapi aku lupa apa itu. Yang jelas, ini gak ada hubungannya sama sekali dengan wajah, coz sampe sekarang pun aku gak pernah ingat wajahnya.

Setelah beberapa tahun, pas cerita2 sama Dc (wah wah... jadi kangen sama sist yg satu ini), aku baru tahu bahwa Bara yang dulu itu pernah muncul profilnya di suatu majalah. Lagi2 aku lupa majalah apa. Dan setelah Dc ngasitau, baru degh aku tahu nama lengkapnya. Hmm, ketika bikin tulisan ini pun aku senyum2 sendiri, mengingat betapa dengan sadarnya Dc dan Alma mengakui betapa mereka nge-fans sama ni cowo. Hehe, pokoknya heboh degh kalo dah ngebahas nama ini.

So, teruntuk Mr. Bara Kukumamia... dimanapun Anda berada, aku cuma mau ngasitau bahwa di antara sekian banyak pengagum Anda, di sini ada 2 pengagum Anda yang lain. They will b very glad 2 see u... And of course, I will join them :D

Rabu, 11 Maret 2009

-25- Cerita Tentang Jalan Tol dan Jalan Setapak *)

Pernahkah terlintas dalam bayangan Anda bahwa istilah jalan tol dan jalan setapak bisa digunakan untuk mewakili suatu benda hidup berwujud manusia? Nah, di sini, di kantorku ini, para cowo (baca: bapak2) menggunakan istilah tersebut untuk menggambarkan beberapa sosok manusia dengan jenis kelamin berkode 2.

Pertama kalinya aku kenal suatu daerah bernama Lebong adalah ketika aku tahu bahwa lokasi penempatan tugasku di Provinsi Bengkulu, tepatnya di Kabupaten Lebong. Gak ada gambaran sedikitpun tentang daerah ini. Selama masih di kantor provinsi, aku mulai mendengar banyak cerita tentang Lebong. Yang paling sering diceritakan adalah tentang cewe2 Lebong yang terkenal agresif (aku hanya mendengar cerita dan sama sekali gak tahu kebenarannya). Banyak juga yang bilang bahwa jika seorang laki-laki tugas di Lebong, maka dia gak bakal "keluar" lagi dari Lebong. Pada intinya, yang dikhawatirkan kebanyakan orang tentang Lebong adalah besarnya kemungkinan seorang laki2 (gak tahu gimana kalo perempuan) terjerat untuk berhubungan dengan wanita Lebong.

Desas desus yang juga sering kudengar adalah bahwa cewe Lebong itu cantik2 n putih2. Entahlah, kalo dimintai pendapat, aku gak bisa bilang apa2 soalnya aku juga gak tahu, cewe2 Lebong itu yg mana, yg kaya gimana, n ada dimana. Perasaan di sini kebanyakan pendatang degh. Jadi, yang dimaksud itu yang mana siy...

Balik lagi ke istilah jalan tol dan jalan setapak. Jalan tol alias jalan bebas hambatan digunakan untuk menggambarkan cewe2 yang dengan mudah bisa 'dipakai' oleh siapapun yang berminat. Sedangkan jalan setapak, hanya bisa dilalui oleh sedikit orang, dengan kata lain, hanya orang2 tertentu yang bisa pake. Istilah yang menurutku kurang ajar. Tapi begitulah mereka, para mitra di kantorku menyebutnya.

Salah seorang rekan pernah bercerita bahwa memang benar kata orang kebanyakan, berada di Lebong, jika tanpa pasangan (baca: istri) benar2 akan sulit. Godaannya besar. Dia menceritakan bagaimana super ramahnya cewe2 Lebong. Bahkan menurutnya, asal mau dan gak takut dosa, mudah banget untuk yang namanya zina. Apalagi kalo laki2nya pegawai. Wuihh, tambah agresif degh cewe2nya. Liat aja, banyak juga pejabat2 yang berskandal. Maklum, profesi pegawai alias PeEnEs masih terbilang elit kalo di daerah.

Terlepas dari benar tidaknya anggapan orang kebanyakan, satu hal yang bisa aku catat. Kadangkala, jika aku bepergian dari atau ke Lebong, aku sering mendapat pertanyaan "Asli Lebong bukan Mbak?". Pertanyaan yang dilontarkan dengan mimik yang membuatku segera ingat percakapan2 sebelumnya tentang cewe2 Lebong di kantorku. Sungguh, meskipun tidak ada asap jika tidak ada api, aku tetap gak suka terhadap sesuatu yang digeneralisir secara semena-mena.

*) Tulisan ini tidak mengandung tendency apapun, hanya sedikit menggambarkan anggapan yang banyak beredar di luaran.

Selasa, 10 Maret 2009

-24- Night's Conversation

Agak lucu rasanya ketika mengingat2 percakapan di suatu malam antara aku dengan seorang teman yang bekerja sebagai PNS Pemda, aku memanggilnya Yuk Suzan. Waktu itu yang kami bahas adalah tentang ransel dan sepatu tanpa hak yang sering aku dan Yuk Meli (rekan sekantorku) pakai ke kantor. Yuk Suzan menertawakan kebiasaan kami yang membawa2 ransel ke kantor, juga kebiasaan menggunakan sepatu tanpa heels. Kebiasaan yang menurutku biasa, tapi menjadi lucu dan aneh menurutnya.

Yuk Suzan bilang, jika aku dan Yuk Meli adalah PNS Pemda dan berpenampilan seperti itu, maka kami akan menuai tertawaan dari banyak orang. Hmm, segitunya kah? Hu um... Menurutnya, aneh kalau berangkat ke kantor pake ransel, kaya anak sekolahan aja. Aku berkilah, "Apanya yang aneh, biasa aja kok, lagian aku kan sering bawa laptop...". Lalu Yuk Suzan kembali membantah, "Di kantorku juga ada yang bawa laptop, tapi pake tas laptop, bukan ransel, dan tas cewe juga tetep pake...". Kyaaaa, repot amat buk. Kalau dengan satu tas saja cukup, kenapa mesti repot2 bawa dua tas sekaligus.

Lalu tentang sepatu teplek. Memang siy sepatu high heels itu akan membuat pemakainya terlihat lebih elegan. Tapi kenapa kebanyakan cewe2 memakai high heels dari rumah, lalu berganti sandal ketika dah sampe kantor, atau sebaliknya. Artinya kan gak nyaman. Jadi yah, mending pake yang nyaman2 aja lah, hehe...

Pokok bahasan yang lain adalah tentang seragam. Di kantorku yang pegawainya cuma 5 orang dan notabene satker vertikal, masalah seragam tidak terlalu diperhatikan. Liat aja aku, sudah hampir setahun kerja, punya seragam cuma 1, seragam kebesaran instansiku, abu-abu. Itupun baru dipakai sekali, karena terpaksa. Hihi, kalau dipikir2 memang keterlaluan. Kalo kaya gini siy, gak heran kalau ada yang mikir bahwa kami, yang masih imut ini hanyalah anak2 yang lagi magang di kantor.

Jadi ingat cerita Yuk Meli dulu. Yuk Meli yang 1 tahun di atasku itu pernah diminta menghadiri rapat antar instansi, mewakili kepala kantor yang berhalangan. Ketika melihatnya, Si Pengundang memandang dengan wajah seolah2 berkata, "Anak kecil gini, yakin ngerti?!" Hihi...

Begitulah... Aku sebenarnya tidak pernah membenarkan kebiasaanku yang cuek dalam berpenampilan ke kantor. Meskipun kadang egoku berprinsip, selama kerjaanku beres, kenapa mesti repot... Lagian, kalo cute mah mau gimana juga tetep cute (wachaaaa.... narsis :D). Kadangkala egoku yang lain membenarkan bahwa penampilan itu penting, memang bukan yang utama, tapi yang pertama. Konsekuensi menjadi civil servant seharusnya bisa berpenampilan formal di kantor. Dan resiko menjadi PeEnEs adalah kalo mau 'dianggap', penampilan juga harus mendukung.

Hhhh... Kupandangi sepatu2 high heels yang teronggok manis jarang digunakan, juga tas cewe yang kadangkala memanggil2 minta dipake. Tenang saja, aku tidak pernah lupa akan kalian...

But wait... aku masih sering heran melihat pegawai2 cewe (di sini) yang ke kantor gak bawa apapun, atau bawa tas mungil yang hanya muat diisi dompet, hape, bedak, n lipstik. Mau kerja atau mejeng buk?!

-23- Si Miskin dan Rokok

Kerja di bidang statistik memang mengesankan. Tugas-tugas pencacahan di lapangan banyak memberikan pelajaran moral, secara langsung maupun tidak. Bertatap muka dengan responden ataupun sekedar memeriksa dokumen pencacahan, dengan sendirinya telah menorehkan pengalaman yang tidak akan pernah aku dapatkan seumur hidupku, jika secara kebetulan aku tidak berada di sini.

Salah satu survei paling mengesankan tapi juga menyebalkan adalah SUSENAS (Survei Sosial Ekonomi Nasional) Modul Konsumsi. Sumpe degh, rasanya bener2 mau muntah kalo dah tiba waktunya ngedit ni dokumen. Kayanya untuk modul konsumsi, mendingan jadi PCL daripada PML. Kalo jadi PML mending ke laut aja degh, hehe gak segitunya ding :D.

Oke, berhenti ngebahas soal modul konsumsinya SUSENAS. Bisa bikin bete berkelanjutan kalo dibahas. Mending bahas yang lain aja, yg lebih penting daripada sekedar capeknya nanya2in berapa banyak beras, gula, garam, ikan, sayur, de el el, de es te yang habis dikonsumsi responden selama seminggu yang lalu. Hmm, seandainya aku yang jadi responden, dengan senang hati akan kuusir tuw pencacahnya. Pegel euy, 3 jam ditanya2in gituan...

Beberapa hari lalu aku membaca sebuah artikel di detiknews yang ngebahas tentang Si Miskin Lebih Banyak Merokok Daripada Si Kaya. Di situ disebutkan bahwa perokok alias konsumen rokok kebanyakan berasal dari golongan ekonomi bawah, alias kelompok orang miskin. Nah, setelah baca ntu artikel, aku langsung inget SUSENAS. Dalam Modul Konsumsi, ada item pertanyaan berapa batang rokok yang habis dikonsumsi dalam suatu rumah tangga selama seminggu yang lalu.

Di daerah Lebong, pada umumnya responden SUSENAS adalah rumah tangga dengan tingkatan ekonomi menengah ke bawah. Oleh karena itu, kalo dicacah, mereka kebanyakan berharap lebih bahwa bakal dapet bantuan. Mental orang Indonesia kebanyakan memang gitu. Lebih suka tangan di bawah ketimbang tangan di atas. Upppss, fokus Wee, fokus....

Minggu lalu aku supervisi SUSENAS ke salah satu responden yang rumahnya di balik bukit sono. Sebuah rumah tangga dengan anggota rumah tangga berjumlah 5 orang. Ayah, Ibu, dan 3 orang anaknya (2 laki-laki dan 1 perempuan). Rumah tangga ini notabene nya petani yang hidup pas pasan, dan dari 3 laki-laki dalam rumah tersebut, 2 diantaranya merokok, masing2nya menghabiskan rata-rata 2 bungkus rokok sehari. 2 bungkus x 16 batang x 2 orang = 64 batang per hari = 448 batang seminggu = 28 bungkus seminggu = 112 bungkus sebulan = 1.344 bungkus setahun. Bayangkan berapa rupiah yang telah dikeluarkan oleh keluarga tersebut untuk memenuhi kebutuhan rokoknya. Jika harga sebungkus rokok Rp 8.000, maka dalam sehari keluarga tersebut mengeluarkan Rp 32.000, dalam seminggu Rp 224.000, dalam sebulan Rp 896.000, dan dalam setahun Rp 10.752.000.

Rp 32.000 terbuang sia-sia setiap harinya. Uang sebanyak Rp 224.000 lebih dari cukup jika dibelikan susu, ikan, dan daging untuk 5 jiwa. Rp 896.000 sebulan tidak sedikit jika digunakan untuk biaya sekolah anak-anak. Dan dengan Rp. 10.752.000, tidak semestinya seorang anak tidak kuliah. Lalu kenapa kebanyakan anak-anak tersebut hanya lulus SD? Atau paling banter juga SMU. Lalu kenapa rumah tangga tersebut tanpa malu-malu merasa berhak menerima BLT?

Jika suatu rumah tangga berpenghasilan puluhan juta rupiah tiap bulannya, dengan anak2 yang semuanya berpendidikam minimal S1, lalu tiap2 anggota rumah tangga mengkonsumsi rokok minimal 1 bungkus sehari, fine... Setidaknya mereka tidak menyandang gelar "besar pasak daripada tiang". Paling2 mereka hanyalah menjadi salah satu dari sedikit orang2 kaya yang bodoh. Namun suatu keluarga yang menghabiskan Rp 896.000 sebulan untuk rokok, dengan mengorbankan kecukupan gizi serta kelayakan pendidikan, adalah salah satu dari sekian banyak orang2 miskin yang bodoh. Miris memang, tapi begitulah adanya...