Selasa, 30 Juni 2009

-49- Underwear Obral

Wahhh, sudah lama banget gak posting. Saking lamanya, blog kesayangan yang tadinya dah punya pr 2, sepertinya sekarang pr-nya tidak terdefinisi. Hiks… tapi gak masalah. Kini aku datang dengan semangat baru, semangat untuk menulis. Buang semua kejenuhan dan kebosanan, uhuyy dramatis sekalleee…

Kali ini aku pengen berbagi sedikit ide, pengalaman, dan pemikiran. Jadi ceritanya beberapa hari lalu aku ke ibukota provinsi (red: aku tugasnya di kabupaten). Mumpung ke kota, sekalian ada yang mau aku beli ahh. Underwear… uppss.

Ada apa dengan underwear? Memangnya di kabupaten gak ada jual underwear? Ya ada lah… di wilayah paling pelosok Indonesia pun rasanya tetep ada yang jual. Masalahnya sekarang bukan pada ada atau tidaknya penjual pakaian dalam, melainkan pada dimana dan bagaimana benda-benda keramat tersebut dijual. Kebetulan aku termasuk tipe2 yang gak pede beli underwear di tempat2 penjualan yang terbuka. Oleh karena itu, aku lebih memilih belanja di mall atau toko2 tertentu yang tertutup (tidak terlalu banyak lalu lalang orang).

Dulu, aku pribadi gak pernah mau beli pakaian dalam (atasan dan bawahan) sendiri. Kalo mau beli, pasti sama ibu, bisa ikut ke tokonya atau sekedar nitip aja. Tapi kan gak selamanya aku ngetem di ketiak ibu. Aku kuliah, bukan satu atau dua bulan, melainkan empat tahun. Dalam kurun waktu selama itu, gak mungkin juga aku hanya beli pakaian dalam ketika sedang pulkam aja. Selain gak mandiri, juga merepotkan diri sendiri alias ribet.

Oke, balik lagi ke penjualan pakaian dalam. Aku sering menemukan pakaian dalam yang dijual layaknya barang2 obralan, dipajang begitu saja di pinggir jalan, dah gitu penjualnya cowo lagi. Benar-benar layaknya menjual sandal-sandal obral, mainan anak, ataupun promosi obat di jalanan. Wew, sempat terlintas dalam pikiranku… emang ada gitu yang mau beli? Hiii, pasti gak laku degh…

Namun, olala… ternyata anggapan selintas tersebut tidak benar sama sekali. Nyatanya, banyak kaum hawa yang mengerumuni penjual underwear murah meriah tersebut. Mereka mengobok2 tumpukan tekstil berwarna warni menarik, memilih-milih, bahkan… pernah kulihat kejadian yang mengagetkan, ketika beberapa ibu-ibu dengan cuek dan pedenya mencoba bra yang mereka rasa cocok. What? Apa aku gak salah liat? Sumpah, kaget banget pas pertama kali liat kejadian kaya gitu. Gak malu ya? Dipake? Dicobain? Dipas2in? Di antara sekian pasang mata (namanya juga pasar), dan yang paling pasti adalah di depan si penjual cowo… Bahkan, lebih parahnya si penjual juga ngasi komen. Ck ck ck… aku yang liatnya aja malu, kok bisa secuek itu yah... It’s really something new 4 me. Atau hanya aku aja yang lebay kali…

Begitulah. Sebuah fenomena yang mungkin biasa bagi beberapa orang, namun luar biasa menurutku. Kejadian yang mungkin tidak aneh bagi banyak orang, namun sempat membuatku tertegun dan geleng2 kepala sampai beberapa lama. Mereka yang terlalu pede dan cuek, atau aku yang terlalu dramatis yah… Hmm…

Kamis, 11 Juni 2009

-48- Curhat Gak Penting

Sudah lebih dari satu setengah tahun status mahasiswa tidak lagi menghuni identitasku. Pekerja, ya... status yang meski telah lebih dari 18 bulan ini kusandang, tetap saja terasa baru, sedikit asing, dan melenakan. Aku lelah wahai kawan...

Aku bosan, kebosanan yang aku sendiri tidak tahu karena apa. Aku kesal, kekesalan yang membuatku lelah mencari penyebabnya. Aku bingung,bingung menentukan what’s the problem inside of me. Aku statis, meski dunia melihat mobilitasku yang aduhai. Lalu aku khawatir, khawatir akan kondisi diri ini yang kubiarkan mengambang, tak hendak mengapung, juga tenggelam.

Enam tahun lalu kuawali semuanya berbekal semangat 45. Kuliah, bersosialisasi, belajar berbagi, mengenal lingkungan, penuh dengan idealisme mahasiswa yang masih segar bugar, menjalani hidup dengan jiwa muda nan penuh gejolak. Namun sekarang betapa aku merasa tua meskipun batinku berontak. Aku merasa layu dan terlena akan rutinitas yang kuciptakan sendiri. Sungguh aku jenuh. Sangat jenuh. Sigh... Seandainya bisa kubeli secangkir semangat...

Senin, 01 Juni 2009

-47- Prosedur Yang Tidak Konsisten Itu Menyebalkan

KP*N... Kantor Pelayanan P************* Negara (edited: byk yg protes sih...). Uhh, rasanya sudah beberapa kali aku mengeluh tentang kantor yang satu ini. Kali ini akan kuabadikan keluh kesahku di rumah maya kesayanganku, sekedar untuk membuatku lega.

Kantor kami merupakan satker (satuan kerja) vertikal yang berada di tingkat kabupaten. Tiap satker dibekali DIPA (Daftar Isian Penggunaan Anggaran) setiap tahunnya. Disitu terinci jumlah dana untuk tiap2 pos pengeluaran sesuai mata anggarannya masing2. Nah, berdasarkan DIPA serta Petunjuk Operasional-nya, suatu satker mengelola keuangannya.

Pernahkah terbayang di benak Anda bagaimana suatu kantor hanya terdiri dari 5 orang (muup degh kalo lebay ^^)... Kepala Kantor, Kasubbag TU, dan 3 orang pada bagian teknis. Salah satu dari 3 orang tersebut adalah aku, yang juga merangkap sebagai bendahara pada tahun ini. Suatu jabatan (benarkah pilihan katanya?), yang sampai detik ini pun belum pernah sekalipun aku mengIYAkannya. Namun apalah daya, sudah di-SK-kan, jadi atas nama tanggungjawab, semua tugas bendahara tetap harus kukerjakan. Gak masalah, asalkan tidak dipersulit.

Sebelum berkeluh kesah, ada baiknya aku memberikan sedikit pengantar sederhana. Jadi, setelah DIPA diterima di awal tahun, satker akan mengajukan UP (Uang Persediaan) yang digunakan untuk keperluan kantor, misalnya sebesar RP.X. SPM (Surat Perintah Membayar) pun dibuat, lalu diajukan ke KP*N. Jika lolos di KPPN, maka KPPN akan mengeluarkan SP2D (Surat Perintah Pencairan Dana). Ini berarti, rekening kantor akan terisi sejumlah RP.X pada tanggal keluarnya SP2D tersebut. Kas mulai terisi.
UP sebesar RP.X tersebut lalu digunakan untuk bayar listrik, telpon, perjalanan dinas, beli ATK, dll sesuai pos yang dianggarkan. Jika UP habis digunakan (atau minimal 75% telah digunakan), maka satker mengajukan GU (Penggantian Uang Persediaan) sejumlah yang telah digunakan. Pengajuan GU ini harus dilengkapi dengan rincian2 pada pos2 mana saja uang tersebut dibelanjakan (sesuai dengan DIPA). Rincian2 tersebut, yang dilengkapi dengan nomor bukti serta tanggal pembayaran setiap transaksi dirinci pada SPTB (Surat Pertanggungjawaban Belanja). SPM dibuat, lalu meluncur lagi ke KP*N. Lolos seleksi, SP2D terbit, dana pun cair. Begitu seterusnya.

Selain GU, ada lagi sifat pembayaran yang disebut LS (Pembayaran Langsung) yang hanya berlaku untuk jenis2 belanja tertentu. Jika pada GU bersifat mengganti UP sehingga dibelanjakan terlebih dahulu baru dipertanggungjawabkan, maka LS sebaliknya. Pada LS, satker membuat SPM yang dilengkapi dokumen pendukung, lalu diajukan ke KP*N. Setelah KP*N menerbitkan SP2D, barulah dana bisa dibelanjakan. Begitulah singkatnya...

Lalu apa yang aku kesalkan? Ketika pertama kali akan mencairkan dana yang sifatnya LS, aku sudah dibuat kesal. Masa siy ngajuin LS, KP*N-nya minta SPTB. Di SPTB kan dirinci tiap detil pengeluaran, nomor bukti, serta tanggal lunas dibayar. Tanggal bayar dan nomor bukti tersebut diambil dari Buku Kas Umum yang mencatat setiap transaksi yang telah dilakukan. Secarraa, duitnya aja blom cair, gimana mau nulis tanggal bayar dan nomor bukti coba? Tapi ya itu, KP*N gak mau nyairin kalo gak ada SPTB, mau protes gimana juga. Alhasil,dibuatlah SPTB... dan bayangkan betapa kacau balaunya SPTB SPTB berikutnya.

Ketika mengajukan GU yang ke-2, KP*N memprotes pembayaran biaya langganan internet yang dibebankan pada "langganan daya dan jasa". Katanya gak boleh dimasukin di "langganan daya dan jasa", melainkan pada "pengadaan ATK,ARK, dll untuk keperluan sehari2". Padahal, di GU sebelumnya ntu internet dah nampang disitu, tapi kok gak diprotes. Bahkan, sudah sejak tahun sebelumnya dia ngetem di "langganan daya dan jasa", kenapa baru sekarang dipermasalahkan?

Keluhan selanjutnya adalah pada GU ke sekian, pada rincian pembayaran honor penyusun rekonsiliasi bulan April-Mei serta honor penyusun laporan form A triwulan 1. Aneh bin ajaib, KP*N menolak istilah honor karena alasan apaaa gitu (gak gitu ngeh...). Plis deh, pembayaran yang sama untuk bulan2 sebelumnya bahkan sudah pernah diajukan, dan duitnya pun sudah keluar. Gak dipermasalahkan tuh. Kenapa kali ini bermasalah? Kok kesannya kayak suka2 org KP*N aja gitu sih...

Huh, udahan dulu ahh ngeluhnya, ntar malah tambah sebel. Kerjaan banyak, orangnya dikit, berarti kan dirangkap2. Jadi bukan cuma itu aja yang harus diurusin. Bukannya mempermudah malah bikin ribet. Okelah kerjaan banyak, sering dikejar deadline, tapi masih mending coz bisa direncanakan. Oke juga kalau salah, gak sesuai prosedur administrasi, memang harus dibenerin. Tapi mbok ya konsisten. Kalo kayak gitu mah tiap mau ngajuin pasti adaaaaa aja salahnya. Ke KP*N bukannya tinggal nyebrang jalan, tapi butuh 2 jam, masa mesti bolak balik hanya gara2 sesuatu yg gak konsisten. Selain itu, mbok ya ramah dikit napa. Kan gak semua orang yang berurusan dengan KP*N adalah orang lama, ada orang2 baru seperti aku yg hanya belajar dari melihat, salah ya wajar, gak perlu pake marah2 kaleee... *untung yang dimarahin yang nganter SPM, bukan aku, hihi

Hff, ibarat orang... karena aku butuh dia, maka aku harus mengikuti semua maunya, meskipun kadang aneh dan gak konsisten. Kalau bukan atas nama mengurusi hajat hidup orang banyak, sori2 aje...

*teriring syukur karena bukan aku yang harus bolak balik KP*N