Minggu, 30 Januari 2011

-77- Aku Hari Ini

Aku pernah berharap agar tidak dikaruniai rasa. Supaya aku tak perlu bersedih ketika harus kehilangan. Supaya aku tak perlu menangis ketika harus ditinggalkan. Supaya aku tak merasa pedih ketika harus mengabaikan. Supaya aku tak perlu terluka ketika harus merelakan. Supaya aku tak perlu berteriak atas setiap kemarahan. Supaya aku tak perlu tertawa atas kelucuan tak berkesudahan. Supaya aku hanya harus tersenyum, dengan setulus-tulusnya yang aku bisa. Sekali lagi tanpa rasa.

Aku pernah berharap atas kesendirian. Supaya aku tak perlu cemas jika harus mengacuhkan. Supaya aku tak perlu sungkan jika harus menyakiti. Supaya aku tak perlu berpura-pura atas kebahagiaan ataupun kepedihan. Supaya aku tak perlu mengenang setiap momen bersama. Supaya aku tak perlu berlari atas sebuah keraguan. Supaya aku tak perlu galau atas tingkah manusia manapun. Supaya aku tak perlu belajar bagaimana menghargai. Supaya aku tak perlu mengenal kata berbagi.

Sampai kemudian kulihat sorot itu. Sorot yang terpancar dari sepasang mata yang begitu indah, begitu damai, dan begitu menyenangkan. Saat itu aku bersyukur karena aku dikaruniai rasa. Aku masih dikaruniai rasa yang mampu membuatku layak untuk menangkap aura kesejukan hanya dari sepasang mata. Tenang dan polos. Seandainya ia sehelai kain, mungkin ia bukan sehelai kain putih jika putih itu adalah warna. Ia adalah sehelai kain bening dan transparan yang tidak mampu menyembunyikan apapun, dendam, angkara, tipuan, gulana, bahagia, sayang, juga kasih. Hanya hatinya yang terlihat. Hati yang membuat bahagia mata-mata manapun yang melihatnya, hanya jika pemilik mata-mata itu memiliki hati seorang ibu.

Sampai di suatu hari aku merasakan kerinduan, kerinduan yang sangat. Aku hanya ingin melihat sorot itu. Sorot yang mampu membuktikan bahwa aku mempunyai rasa. Sorot yang membuatku merasa begitu beruntung atas hidupku. Aku merasakan bahagia karena tidak pernah sendiri. Dan sungguh, aku tidak pernah tersiksa atas semua kerinduan itu. Maka aku bertanya pada hatiku, masihkah aku menginginkan kesendirian dalam duniaku? Sungguhkah aku sanggup jika aku harus benar-benar sendiri membentangkan layarku?

Aku hanyalah sekumpulan huruf yang kurangkai membentuk definisi atas apa dan siapa diriku. Aku pernah menyesali atas harapanku pada kesendirian dan tanpa rasa. Aku pernah menampar diriku atas setiap helaan napas yang kulakukan tanpa bersyukur. Aku juga menghardik suara hatiku yang entah merujuk pada cerita hidupku di bagian yang mana. Aku beruntung jalanku lurus. Aku beruntung telah dibekali banyak "karena". Aku juga beruntung karena tak pernah kehilangan kasih. Aku hanya khawatir, jika aku hari ini adalah perempuan yang rumit.

Jumat, 21 Januari 2011

-76- Ragam Waktu di Suatu Pagi

Bahkan di suatu pagi aku terbangun dengan rembesan keringat yang mampu membuat pakaian terasa benar-benar tak lagi kubutuhkan. Aku bergumul dengan hawa panas yang kontras menyeruak menutup segarnya udara pagi yang seharusnya ada di sana. Semua terasa berat. Ketika keadaan tidak bersinergi dengan keinginan. Sekedar memaksa kelopak mata untuk bergerak pun rasanya aku tak berdaya. Kontrol otak benar-benar hanya menjadi teori semata, karena justru di pusat kendali sedang terjadi kudeta dan penolakan besar-besaran.

Suara itu selalu ada. Suara yang katanya berselang setiap satu detik, penunjuk bahwa suatu hal bernama waktu tak hendak beristirahat barang sejenak. Telingaku sama sekali tidak kuperintahkan untuk bekerja. Namun sekali lagi kontrol otak terbukti sekedar menjadi teori. Pun mataku. Bahkan ketika aku harus berjuang habis-habisan berdamai dengan kantuk, tanpa perlu komando, sang pupil bergerak menuju jarum yang tak henti-hentinya mengeluarkan suara yang sama sekali tidak merdu. Dan setelahnya, tiba-tiba aku langsung merasa betapa sejenaknya mentari bersemayam.

Aku begitu mencintai kegelapan ketika kusadari jikalau cahaya itu muncul maka aku harus segera pergi. Aku menyayangkan suatu malam yang pekat berakhir begitu saja saat kulitku harus rela tersentuh dinginnya air ketika langit tak lagi hitam. Kulihat tumpukan warna yang tak bisa hanya dibuang saja, lalu selesai semuanya. Kuraba perutku yang ternyata benar-benar tidak mampu hanya diiming-imingi air putih dua gelas belimbing. Aku terpana menyaksikan onggokan-onggokan hal tak penting penunjang kepercayaan diri masih tak terbenahi. Dan tiba-tiba duniaku terasa berada di atas sebuah halilintar raksasa.

Langitku menuju warna kuning muda. Ditemani benda-benda bergerak semu di kiri dan kananku, kurasakan sesuatu yang berada di dalam keningku masih bekerja keras. Entah apakah kerja kerasnya membuahkan hasil yang setimpal atau tidak. Seingatku, kemudian aku hanya bisa terdiam, ingin sekali memaksa mereka memandang hidup sebagaimana yang aku inginkan untuk mereka pandang. Ingin kujejalkan berbagai opini agar semua terasa sama, ditingkahi serupa, dalam sudut yang saling berhubungan. Aku juga ingin memasukkan ide, kesepahaman dan derajat toleransi yang sifatnya mutlak sesuai standarku. Meski aku selalu sadar, bahwa dan padahal aku bukan siapa-siapa kecuali bagi diriku sendiri.

Bosan berurusan dengan kecamuk, tiada yang lebih baik daripada membuang penat. Begitu sulit menganaktirikan suasana hati yang sering memburuk dengan sangat tiba-tiba. Juga terasa tak rela membuang murka hanya dengan memerintahkan memori menghapus semua tanpa sensor. Karena sungguhpun kemarin dan tadi malam dunia sangat biasa, beratus-ratus jam sebelumnya bahkan hanya seutas benang mampu menyulut kedengkian. Dengki yang kemudian sangat tidak berseni dan terasa monoton, timbul tenggelam dalam perubahan cuaca yang ekstrem menerpa. Benar-benar tak layak untuk dipertahankan.

Lalu kurasakan aku membongkar-bongkar tumpukan gambaran tidak dengan tangan. Mencoba menarik kesimpulan bahwa aku butuh kedinamisan untuk sekedar merasa bahwa aku tetap tumbuh. Kutemukan secarik helai masa lalu yang mungkin bisa kuulangi, hingga aromanya yang dulu kurindukan dapat kembali kurasakan. Aku ingin berjalan dengan hati, mengumpulkan setiap sudut terang yang sering dengan sadarnya kucampakkan begitu saja. Hingga kupastikan bahwa aku tetap punya dua puluh enam aksara yang terikat dalam kesatuan diriku sebagaimana adanya. Karena hanya yang pantas berubahlah yang harus berubah. Dan aku akan menjemputnya.