Bahkan di suatu pagi aku terbangun dengan rembesan keringat yang mampu membuat pakaian terasa benar-benar tak lagi kubutuhkan. Aku bergumul dengan hawa panas yang kontras menyeruak menutup segarnya udara pagi yang seharusnya ada di sana. Semua terasa berat. Ketika keadaan tidak bersinergi dengan keinginan. Sekedar memaksa kelopak mata untuk bergerak pun rasanya aku tak berdaya. Kontrol otak benar-benar hanya menjadi teori semata, karena justru di pusat kendali sedang terjadi kudeta dan penolakan besar-besaran.
Suara itu selalu ada. Suara yang katanya berselang setiap satu detik, penunjuk bahwa suatu hal bernama waktu tak hendak beristirahat barang sejenak. Telingaku sama sekali tidak kuperintahkan untuk bekerja. Namun sekali lagi kontrol otak terbukti sekedar menjadi teori. Pun mataku. Bahkan ketika aku harus berjuang habis-habisan berdamai dengan kantuk, tanpa perlu komando, sang pupil bergerak menuju jarum yang tak henti-hentinya mengeluarkan suara yang sama sekali tidak merdu. Dan setelahnya, tiba-tiba aku langsung merasa betapa sejenaknya mentari bersemayam.
Aku begitu mencintai kegelapan ketika kusadari jikalau cahaya itu muncul maka aku harus segera pergi. Aku menyayangkan suatu malam yang pekat berakhir begitu saja saat kulitku harus rela tersentuh dinginnya air ketika langit tak lagi hitam. Kulihat tumpukan warna yang tak bisa hanya dibuang saja, lalu selesai semuanya. Kuraba perutku yang ternyata benar-benar tidak mampu hanya diiming-imingi air putih dua gelas belimbing. Aku terpana menyaksikan onggokan-onggokan hal tak penting penunjang kepercayaan diri masih tak terbenahi. Dan tiba-tiba duniaku terasa berada di atas sebuah halilintar raksasa.
Langitku menuju warna kuning muda. Ditemani benda-benda bergerak semu di kiri dan kananku, kurasakan sesuatu yang berada di dalam keningku masih bekerja keras. Entah apakah kerja kerasnya membuahkan hasil yang setimpal atau tidak. Seingatku, kemudian aku hanya bisa terdiam, ingin sekali memaksa mereka memandang hidup sebagaimana yang aku inginkan untuk mereka pandang. Ingin kujejalkan berbagai opini agar semua terasa sama, ditingkahi serupa, dalam sudut yang saling berhubungan. Aku juga ingin memasukkan ide, kesepahaman dan derajat toleransi yang sifatnya mutlak sesuai standarku. Meski aku selalu sadar, bahwa dan padahal aku bukan siapa-siapa kecuali bagi diriku sendiri.
Bosan berurusan dengan kecamuk, tiada yang lebih baik daripada membuang penat. Begitu sulit menganaktirikan suasana hati yang sering memburuk dengan sangat tiba-tiba. Juga terasa tak rela membuang murka hanya dengan memerintahkan memori menghapus semua tanpa sensor. Karena sungguhpun kemarin dan tadi malam dunia sangat biasa, beratus-ratus jam sebelumnya bahkan hanya seutas benang mampu menyulut kedengkian. Dengki yang kemudian sangat tidak berseni dan terasa monoton, timbul tenggelam dalam perubahan cuaca yang ekstrem menerpa. Benar-benar tak layak untuk dipertahankan.
Lalu kurasakan aku membongkar-bongkar tumpukan gambaran tidak dengan tangan. Mencoba menarik kesimpulan bahwa aku butuh kedinamisan untuk sekedar merasa bahwa aku tetap tumbuh. Kutemukan secarik helai masa lalu yang mungkin bisa kuulangi, hingga aromanya yang dulu kurindukan dapat kembali kurasakan. Aku ingin berjalan dengan hati, mengumpulkan setiap sudut terang yang sering dengan sadarnya kucampakkan begitu saja. Hingga kupastikan bahwa aku tetap punya dua puluh enam aksara yang terikat dalam kesatuan diriku sebagaimana adanya. Karena hanya yang pantas berubahlah yang harus berubah. Dan aku akan menjemputnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar