Minggu, 25 April 2010

-69- Perempatan Tak Bernama

Suatu malam yang kerontang kudapati diri berdiri ragu di tengah2 perempatan. Jengah berpolah disapu pandang jiwa yang kuciptakan sendiri. Berpikir keras sembari melihat sekilas beberapa mata yang tertarik untuk melirik. Pelan kulangkahkan kaki menuju jalan pertama.

Sepanjang jalan itu dihiasi wajah2 bertopeng putih kemerahan, menempel pada tubuh2 yang berjalan anggun. Serangkaian besi berserakan dianiaya oleh para wajah bertopeng, sekedar untuk membuang sejumput daging. Aku menikmatinya, lalu merasa muak. Sampai kemudian kutemukan perempatan lagi, perempatan yang sama.

Aku menuju jalan kedua dan langsung disambut riuhnya canda tawa. Aku tidak melihat seorangpun yang diam di sepanjang jalan itu. Ejekan2 yang secara normal menyakitkan hanya ditingkahi dengan tawa2 berderai. Mereka bertingkah seolah tak ada kesusahan. Aku ikut tersenyum. Senyum yang kusadari hanyalah sementara. Kesementaraan yang menggiringku kembali menemukan perempatan yang lagi2 sama.

Jalan ketiga pun kususuri. Kulihat kertas2 beterbangan. Huruf2 tersusun layaknya serombongan semut berbaris, rapi dan memusingkan. Bunyi mesin berderit2 kejam memaksa manusia berpikir keras. Orang2 lalu lalang tergesa seolah2 semua keluarga mereka baru saja meninggal dunia. Beberapa perempuan terlihat begitu serius sampai tak menyadari wajahnya terlihat kusam. Entah mereka punya anak dan suami atau tidak. Dan di ujung jalan terlihat beberapa orang saling mencakar, berebut segepok rupiah yang entah milik siapa. Segera kuputuskan untuk tidak akan menghabiskan waktu terlalu lama di sana.

Aku melihat perempatan lagi. Perempatan yang tetap sama. Kali ini kupilih jalan keempat. Jalan itu gelap, berkelok2 dan tak teraba. Entah mengapa belum ada lampu2 jalan yang dipasang untuk meneranginya. Aku ketakutan dan tidak tahu sudah berjalan seberapa jauh. Sesekali aku berpapasan dengan beberapa orang yang menyapa namun tak hendak kusapa, tak berani mengambil resiko. Sesekali juga terlihat cahaya dan wajah2 ramah. Aku berjalan penuh strategi ke arahnya, pelan, tak ingin tersandung batu yang berserakan. Senantiasa kuyakinkan diri bahwa aku tak akan tersesat dan terpedaya.

Begitulah perjalananku malam itu dan malam2 berikutnya. Berhadapan dengan perempatan yang selalu sama, perempatan tak bernama. Ingin rasanya kubuat sketsa pada tiap perjalananku, tapi ternyata aku tak mampu. Aku hanya mampu merangkai beberapa mozaik, menangisi beberapa kesalahan, dan tersenyum mendengar beberapa suara. Akulah perempuan, di tengah2 perempatan tak bernama.

Jumat, 16 April 2010

-68- Perempuan Bulan Maret

Sebuah SMS masuk di antara hujan kemarin malam.
"Ya Allah, curahkanlah bidadari solehah ini dengan kasihMu. Awasi ketat tiap langkahnya agar tetap istiqomah di jalanMu. Kutitipkan ia padaMu dan yakinkan ia bahwa pada saatnya nanti akan ada seorang raja soleh yang mencintainya karenaMu, yang akan menjadi penjaga dan penyempurna agamanya, yang akan membuatnya hidup dan memberi manfaat pada orang-orang di sekitarnya."

Aku membaca nama pengirimnya. Seorang teman yang belum genap 30 hari kukenal. Perkenalan tidak sengaja yang bukan tanpa kepentingan. Entahlah, apakah memang aku sudah ditakdirkan bertemu dan berinteraksi dengannya. Entahlah, apakah dia sengaja disinggungkan dengan kehidupanku untuk sedikit saja menyentakku, merangsang naluriku untuk mengira-ngira dan mengamati lebih seksama, perempuan seperti apakah dia.

Sejak pertama kali bertemu, perempuan itu sudah lumayan bisa sedikit menarik minatku. Hanya sedikit saja, tidak lebih. Lalu aku memperhatikannya dan secara otomatis merasa seperti melihat teman-teman kuliahku dulu. Rok panjang model A dengan blus panjangnya. Jilbab bahan biasa dan tidak terlalu menggunakan banyak seni dalam penyematannya. Tanpa make-up dan asesoris serta terkesan masih saklek dalam berpenampilan. Dan dia senantiasa menatapku dengan wajah berbinar.

Beberapa hari kemudian dia mulai mendekatiku, memberikan jawaban atas binar matanya setiap kali menatapku. Ouw, ternyata wajahku mengingatkannya pada seorang teman dekat yang sudah lama tidak bertemu dan hilang kontak. Sangat mirip katanya. Apalagi teman dekatnya itu juga berasal dari daerah yang sama denganku. Tak ayal lagi, karena melihatku, rindu pada temannya itu semakin bergejolak. Sampai-sampai dia pun bercerita bahwa sosok aku yang merupakan orang baru dalam kehidupannya ini bisa masuk ke dalam mimpinya dan menjalani skenario yang aneh, aku menikah dengan teman SMU-nya.

Aku tersenyum. Tak bisa kupungkiri aku juga tertarik padanya. Rasanya sudah lama sekali aku tidak pernah melihat bentuk-bentuk orang yang seperti itu di sini, entah sudah berapa lama. Aku semakin penasaran dan ingin tahu bagaimana kelanjutannya, sejauh mana dia masih bisa menarik minatku. Sebijak apa dia menyikapi poin-poin kontradiktif dalam diriku. Dan seberapa profesional dia dalam urusan pekerjaan.

Beberapa hari yang lalu dia pernah melontarkan sebuah pertanyaan melalui sms.
"Saat ujian aku di depan. Saat istirahat aku tidak ada. Saat ada guru aku berada di barisan 2/4. Apakah aku?" Dia bilang, dia hanya ingin tahu tentang pemikiranku. Lalu dengan cepat tanpa berpikir lama langsung saja kujawab, "Idealisme". Dia kembali membalas, "Pikir lagi, waktunya masih panjang kok." Lagi-lagi kujawab, "Otak". Aku benar-benar malas berpikir, dan hal itu juga kuutarakan padanya. Dia pun membalas sambil tersenyum bahwa tidak mungkin otak bisa hilang pada waktu istirahat, dan dia bilang bahwa dia sedikit tahu tentang pemikiranku. Ketika aku meminta penjelasan, dia hanya berkata bahwa belum waktunya aku diberitahu. Aku penasaran, tapi juga bukan tipeku untuk mengejar-ngejar seseorang agar mengatakan sesuatu yang tidak ingin dia katakan. Sudahlah, biarkan saja dia berpikir dan menilai.

Aku membuka-buka lagi inbox hapeku, melihat lagi beberapa smsnya dan tersenyum.

"Ikhlas adalah tidak merasa telah ikhlas. Barang siapa masih menyaksikan keikhlasan dalam ikhlasnya, maka keikhlasannya masih membutuhkan keikhlasan lagi. Semoga kita selalu menjadi orang yang ikhlas dalam menjalani semua amanah."

"Gunakan keikhlasan sebagai kekuatan dalam bekerja kita dan gunakan keberserahan dari penantian hasil kerja kita, lalu lihat apa yang terjadi."

"Jalan ini, jalan cinta. Jalan cinta, menyaksikannya dicinta tanpa pencinta. Nilainya pada kebersamaan. Keagungannya pada keridhaan. Seseorang itu sempurna bukan karena banyak amalan, tetapi sempurna disisiNya karena Dia meridhainya. Jalan keridhaan Tuhan bukan bergantung pada amalan tapi sejauh mana seseorang menghayati bahwa setiap amalan yang dikerjakannya adalah dari Sang Pencipta."

"Ketika wajah ini penat memikirkan dunia, maka berwudhulah. Ketika tangan ini letih menggapai cita-cita, maka bertakbirlah. Ketika pundak tak kuasa memikul amanah, maka bersujudlah. Ikhlaskan semuanya dan mendekatlah padaNya."

***

Kubaca ulang sms yang dia kirimkan kemarin. Hmm, dia tahu saja. Memang hal yang paling sering melayang-layang dalam pikiranku adalah bahwa menjadi seorang perempuan lajang di tempat ini, dalam situasi dan kondisi seperti ini, pada waktu-waktu yang juga seperti ini adalah sangat tidak menyenangkan. Jadi terimakasih banyak atas sms itu. Aku menganggapnya sebagai sebuah doa yang tiada henti-hentinya hendak aku aminkan. Amiiin, amiiin Ya Rabb ^_^