Rabu, 24 November 2010

-74- Sebuah Ruang Serbaguna

Selangkah demi selangkah, pelan kumasuki ruangan itu. Ruangan yang seolah2 semua jawaban atas pertanyaanku ada di dalamnya. Auranya kuat, menarik setiap inchi perhatianku. Seolah2 lautan di dalamnya, kadang tenang, kadang mengganas.

Aku menatap semua penjuru, sudut, langit2, jendela, tembok, warna, bahan... Juga nuansa psikologis yang melayang2, mengambang mengikuti irama jiwa. Aku begitu mengenal tempat itu. Tiada keraguan lagi bahwa akulah manusia yang paling mengenalnya, meskipun kenalku itu tak pernah berujung paham.

Di beberapa sudut terlihat gelap, kotor dan tak bening. Aku yakin jika orang itu melihatnya, dia tidak akan betah membiarkan begitu saja. Betapapun lelahnya dia, nalurinya akan memerintahkan fisiknya untuk segera membersihkannya, minimal bersih dalam wujud penampakan.

Aku berdiri di satu sisi ruang. Aroma malaikat otomatis menghampiri. Menyejukkan, ikhlas, bersyukur, seolah2 kata2 itu menari2 indah, tak dapat kulihat, namun mampu kurasakan dengan sangat jelas. Dan itu sangat indah, seindah menatap mata seorang bayi mungil.

Kubawa kakiku menuju sisi lain, menjelajah setiap petak dan ruang hampa yang menghampar. Tidak semili pun ada bagian yang kulewatkan. Aku melihat marah. Aku melihat kesal. Aku melihat benci. Meskipun aku melihat cinta, sayang dan senyuman, tetap juga aku melihat iri. Aku melihat setiap polah manusia yang aku sangat kenal.

Aku kembali menuju pintu, berbalik lagi dan kembali menatap sayu seluruh ruangan. Aku tahu lautan sedang mengganas. Aku tahu benci sedang meraja. Aku tahu ikhlas sedang ditindas. Dan aku tahu kesal membara. Namun sepintar apapun logikaku merangkai, aku bahkan tidak pernah paham teori dan realitas sebuah ruang. Sebuah ruang serbaguna bernama hati.