Selasa, 28 Juni 2011

-82- Catatan Akhir Silaturahim Kali Ini

Aku lebih suka menyebutnya silaturahim, dimana aku mendatangi beberapa rumah warga untuk mendapatkan data. Aku bertanya2 tentang a, b, atau c kepada sekian rumah tangga yang terpilih sebagai sampel untuk mewakili suatu populasi. Mungkin orang2 di sana lebih suka menyebutnya survei, terdengar lebih cerdas dan intelek. Dan ketika aku sedang ingin merasa intelek, aku juga akan menggunakan diksi itu.

Tema silaturahimku kali ini adalah tentang konsumsi alias pengeluaran sehari2. Akan terlalu panjang jika aku menjabarkan tentang apa saja yang ingin ditangkap disana. Dan aku pun sedang tidak ingin berpusing2 ria memikirkan banyak aspek. Cukup satu aspek saja yang akan aku ambil untuk kupikirkan sedikit, sejenak, selintas dan sekompleks mungkin. Sekedar ingin melihat dan berargumentasi secara bodoh.

Pertanyaan yang biasanya tidak pernah aku lewatkan adalah berapa rupiah yang dikeluarkan oleh rumah tangga yang bersangkutan untuk jajan anak2nya selama sehari. Jawabannya beragam, mulai dari satu anak 2000 sehari, 5000 sehari, 3000 pagi dan 3000 siang, ataupun 10.000 sehari. Terlihat biasa saja pada awalnya, tapi menjadi luar biasa menurutku ketika kemudian aku melihat hal2 lain yang rasanya menjadikannya tidak berlangsung serasi.

Sebuah rumah tangga terdiri dari seorang nenek dan seorang cucu yang duduk di kelas 4 SD. Si cucu biasa dibekali uang jajan 3000 rupiah sebelum berangkat ke sekolah. Siang sampai sore hari, biasanya si cucu lagi2 minta jajan dan biasanya menghabiskan 2000 rupiah. Berarti, dalam sehari 5000 rupiah harus dikeluarkan untuk membiayai jajan si cucu, 75.000 seminggu, dan 300.000 sebulan (hari libur tetap sama). Sementara itu, untuk membiayai hidup sehari2 sang nenek mengandalkan dana pensiun yang hanya 300.000 sebulan, ditambah beberapa rupiah hasil kiriman anaknya yang tidak rutin. O oww, ternyata hanya untuk uang jajan saja, dana pensiun untuk sebulan habis tanpa sisa. Anehnya, sang nenek kok manut aja sih...

Rumah tangga yang lain berdomisili di wilayah pasar. Sudah bisa dibayangkan betapa beranekaragamnya jajanan yang tersedia, yang kemudian berhasil menyedot perhatian tidak sedikit anak2, termasuk anak2 di rumah itu. Ada 2 anak usia TK dan SD di sana. Setiap harinya orangtuanya menghabiskan sekitar 20.000 rupiah untuk jajan mereka, baik di sekolah maupun di rumah. Kedua anak itu terbiasa beraktivitas tanpa dimulai dengan sarapan di pagi harinya, bahkan makan siang dan makan malam di rumah pun mereka malas. Mereka cuma mau jajan, jajan, dan jajan. Laparnya perut akan sangat mudah diselesaikan dengan hanya dengan jajan. Padahal jajanan yang mereka konsumsi itu jauh dari bergizi. Lagi2... anehnya orang tuanya dengan ikhlas mengamini saja.

Bergeser beberapa desa ada rumah tangga lain dengan seorang balita berumur 2 tahun di dalamnya. Aku takjub begitu melihat si balita yang sudah sangat familiar dengan rupiah. Memang dia belum mengerti kegunaan rupiah untuk membeli rumah atau mobil. Tapi si balita yang masih imut itu akrab sekali dengan warung kecil di seberang rumahnya. Setiap hari ia tidak pernah absen mengunjungi warung itu. Tidak lain dan tidak bukan adalah untuk jajan ini itu. Sang ibu yang suaminya hanya seorang buruh tani harus menghabiskan 5000 rupiah sehari untuk jajan si buah hati. Aku melihatnya sambil bertanya2, begitukah cinta wahai ibu?

Cukuplah tiga rumah tangga saja dari sekian banyak rumah tangga dengan kebiasaan jajan anak2 yang aneh menurutku. Aku tidak mempunyai hak sama sekali untuk mengatakan bahwa mereka salah. Aku hanya ingin semakin bersyukur atas hidupku melalui gambaran hidup orang lain. Aku bersyukur semenjak kecil tidak pernah dijatah dengan pasti sebesar sekian rupiah untuk jajan sehari. Aku bersyukur orangtuaku telah berhasil membentukku untuk mengawali kegiatan sehari2ku dengan sarapan. Aku bersyukur atas cara orangtuaku membiasakanku untuk benar2 makan, di rumah, tiga kali sehari, daripada jajan yang gak jelas di luar sana. Aku bersyukur untuk semuanya.

***

Tiba2 aku teringat pada keponakanku yang baru 2,5 tahun. Dia sehat, pintar, aktif, ceria, dan makannya pun banyak. Dia belum kenal istilah jajan dan jajanan. Alhamdulillah atas itu, karena memang belum waktunya untukmu sayang... Dan jika nanti aku menjadi orangtua, menjadi ibu, mohon jauhkanlah aku dari perilaku dzalim kepada anak2ku Ya Rabb, baik sengaja ataupun tidak. Karena ala bisa karena biasa. Dengan kebiasaan baik insya Allah dengan kehendakNya akan menghasilkan generasi yang baik pula.

(berhenti sejenak di tengah entri dokumen kuning)

Selasa, 05 April 2011

-81- Ketika Seorang Perfeksionis Berkendara

Date Created : 25 Agustus 2009

Sore hari menjelang ashar, bersantai sejenak setelah pulang kantor.

Lucu, ingin rasanya aku tertawa jika mengingat kembali rentetan peristiwa di hari ini. Diawali dengan bangun sahur. Meskipun ibu kost sudah membangunkan sejak jam 03.00 dini hari, jadwal sahurku tetap saja jam 04.00. Setelah sahur lanjut subuh, nyetrika, mulai merendam pakaian kotor, lalu nonton TV sambil tidur-tiduran (ujung-ujungnya tidur lagi, hehe).

Masih antara sadar dan tidak (heran, kenapa ya pagi-pagi tu bawaannya ngantuk aja), aku mendengar bunyi sedikit gemuruh. Kuintip keluar, wuaaa... ternyata hujan. Ahh, malas... Aku kan harus ke kantor, kalo hujan gini rasanya ogah banget ngantor. Kantorku kan baru pindah. Sepuluh kilo euy. Sangat jauh dibanding posisi kantor sebelumnya yang tidak sampai 1 km.

Namun sebenarnya bukan itu inti permasalahannya. Yang pertama kali terlintas dalam pikiranku ketika mendapati hujan di pagi hari ini adalah "Yaaaaaaa, motorku kan baru dicuci kemarin sore, kotor lagi dunk, hikz...". Hahaha, enggak banget deh. Kalo gak mau kotor ya jangan dipake mbak, simpen aja di rumah, bungkus pake plastik :D.

Akhirnya, meskipun agak terlambat karena menunggu hujan reda, aku tetap berangkat ke kantor. Bismillah, dalam hati aku berdoa semoga tidak terjadi apa-apa di jalan. Kulajukan motor tidak lebih dari 40 km/jam. Pelan dan sangat hati-hati, menghindari tiap inchi jalanan yang basah sebisa mungkin. Masih dengan motivasi yang sama, aku tidak sudi motorku kotor.

Sekitar 4 km sebelum kantor, ternyata hujan lagi. Huh, menyebalkan. Berhubung masih gerimis, aku pun tetap melaju pelan. Saking pelannya, ketika tiba di salah satu turunan yang agak curam, dengan kondisi jalan yang jauh dari bagus, aku kehilangan keseimbangan, oleng ke kanan, dan brakkkkkk...

Pengendara motor di belakangku sontak berhenti dan membantuku berdiri. Malu banget. Aku gak peduli pada celana panjang yang robek karena tergores tanah keras. Aku juga gak peduli pada lutut yang agak sedikit nyeri. Aku hanya peduli pada rasa malu, juga... pada rasa menyesal karena motornya jadi lecet-lecet dan kotor. Hahahah, lagi-lagi :D :D

Setelah kembali mengatur posisi, aku melanjutkan perjalanan beberapa kilo lagi. Tiba di kantor, parkir, masuk ruangan, lalu duduk. Aku termenung dengan pikiran yang penuh. Hari ini cuaca dingin dan lembab. Aku asyik dalam renungan di tengah gerimis. Tak lagi kuhiraukan motor yang kuparkir tidak di bawah atap. Bodo’ amat deh.

Pikiranku berkelana kemana2. Plis deh Wee, perfeksionis boleh aja, tapi pilih2 waktu dan situasi lah... Ujung2nya kamu sendiri yang rugi kan. Lagian, itu perfeksionis atau oon sih? :D :P

-80- Don't Judge The Book From The Cover

Date Created : 25 Agustus 2009

Aku lagi gak tajir ide untuk nambah postingan di blog. Tapi daripada kelamaan vakum, lebih baik aku berbagi beberapa peristiwa sederhana yang terjadi di sekitarku akhir2 ini. Peristiwa sederhana, namun tidak berbanding lurus dengan sederhananya hidup.

Satu tahun aku di Muara Aman, kota ini mulai berubah meski tidak terlalu signifikan. Emang perubahannya apa Wee? Pertama, sektor perdagangan mulai menggeliat. Tempat2 makan baru mulai bermunculan, dan inilah yang paling ditunggu2 oleh anak kost seperti diriku. Kedua, jasa angkutan mulai bersaing. Kalau dulu ke Bengkulu harus puas dengan naik engkel, sekarang travel2 dengan mobil2 AVP, Xenia, atau Avanza-nya mulai berkeliaran. Untuk tipe2 traveller sepertiku, hal ini sangat2 membantu. Ketiga, sektor perparkiran tidak hanya menggeliat, melainkan memberontak, sampai2 parkir 5 menit di depan warung sate pun dimintai uang parkir. Hah? Sebegitu gak ada kerjaannya kah beberapa penduduk di sini, sehingga kota yang tidak seberapa ramai ini bahkan memberlakukan tarif parkir dua kali lipat daripada ibukota provinsinya sendiri? Kalo motorku trus ditutupin pake apa gitu supaya gak panas dihajar matahari, oke juga. Lah ini dianggurin aja. Huh, perubahan yang satu ini benar2 tidak menyenangkan.

Pertama kali berkendara di Kota Muara Aman satu tahun yang lalu, aku berdecak kagum. Wuahh, hebat... Jalan2 di pusat kotanya (Pasar Muara Aman) dipenuhi jalan satu jalur. Alhasil, untuk menuju tempat2 tertentu yang seharusnya bisa lurus, mesti memakan waktu yang lebih lama karena harus memutar. Buang2 waktu. Tapi gak masalah, karena ternyata kebijakan yang bikin ribet pengendara ini bisa membuat jalanan lebih teratur. Lalu satu hal lagi yang perlu diacungi jempol, pengendara sepeda motor di sini, baik yang di depan maupun yang dibonceng, WAJIB menggunakan helm standar. Kalo di kota2 besar, hal ini sangat wajar, tapi menjadi luar biasa jika dibandingkan dengan pengendara sepeda motor di Kota Baturaja yang notabene kotanya jauh lebih maju. Oh Baturaja-ku… dalam hal ini dirimu menyedihkan.

Ngomong2 tentang ranmor dan lalu lintas, aku jadi teringat sama Pak Polisi. Mohon maaf sebelumnya, gak tahu kenapa, aku dan pikiranku selalu dipenuhi sugesti negatif terhadap polisi. Aku sering mendengar beberapa teman yang dipalakin sama polisi. Dia melanggar tapi gak ditilang asalkan memberikan 'setoran' kepada polisi tersebut. Dalam kasus ini, teman2ku itu juga salah. Kemudian, aku sendiri pun pernah ditilang, sebbeel banget sama polisinya, padahal memang aku yang salah, hehe. Dasar manusia. Belum lagi banyak kasus2 kejahatan yang ditengarai oleh oknum polisi. Hmm, aku sempat berpikir, polisi mana ada yang baek siy, uuppsss... Kakakku bahkan sampai bilang gini, "Hati2, ntar kemakan omongan sendiri, malah dapet suami polisi." Hiiiii………. :D

Suatu siang di Muara Aman, aku bersama rekan2 sekantor hendak makan siang bareng boz dari provinsi. Sebelum ke rumah makan, kami mampir ke masjid dulu. Kebetulan aku sedang dikasi dispensasi, jadi gak shalat, aku pun menunggu di luar. Selagi menunggu, tampak seorang laki2 berseragam polisi masuk ke halaman masjid, lalu ia parkir motornya, melepas sepatunya, dan masuk ke masjid. Aku sempat terpana. Di kala seringnya aku melihat polisi2 yang dengan cueknya duduk2 santai di pos polisi yang terletak persis di depan sebuah masjid di siang Jumat, di saat yang lain kujumpai seorang polisi yang dengan sukarela menuju masjid di siang Senin yang terik, untuk menunaikan kewajibannya sebagai seorang hamba. Betapa adilnya dunia yang tak membiarkan pikiran negatif senantiasa menghantuiku.

Maka, dengan salah satu kejadian saja, aku diberitahu untuk tidak memberikan penilaian negatif secara umum. Don’t judge the book from the cover, Wee...

Sabtu, 26 Maret 2011

-79- Karena Aku Seorang Muslimah

Seketika aku terbangun di suatu pagi setelah bermimpi tentang kemarin. Bahwa segala yang terjadi bahkan bisa diperbaiki, diatur ulang, dan dijalani kembali dengan sebijak-bijaknya. Bahwa semua yang sedang berlaku bahkan bisa diganti, diperankan mulai dari prolog, lalu lihat bagaimana hasilnya. Akankah tetap sama?

Aku terdiam dalam dudukku, entah sedang mencerna episode yang mana. Yang aku tahu aku bingung, aku sedang berada pada season berapa dalam ceritaku. Yang aku tahu aku heran, bagaimana bisa suatu skenario berubah dengan sendirinya di tengah pertunjukan yang sedang berlangsung. Dan perubahannya tak bisa kutebak, akan memilih adegan penutup yang seperti apa.

Teringat aku akan suatu malam ketika aku sedang bertanya padaNya. Pertanyaan yang kemudian tidak pernah kuulang karena pada dasarnya hatiku sudah tahu jawabannya. Sampai kemudian aku terhenyak. Mungkinkah jawaban yang kuyakini dulu bukanlah jawaban yang tepat? Haruskah kuulangi lagi pertanyaan itu? Pertanyaan yang jauh di dalam sana sangat ingin aku hindari.

Sungguh aku tak pernah berpaling dan mengingkari bahwa aku hanyalah manusia yang semanusia-manusianya. Sungguh aku tak pernah berniat untuk berjalan di jalanku, lalu melenceng mencari-cari perkara dan menyakiti yang lain. Aku juga tak hendak berpikir bahwa aku bisa menjelma malaikat. Aku punya rasa, meski dalam beberapa hal akulah orang yang paling tak berperasaan. Aku menggunakan logika meski dalam beberapa hal logikaku melayang entah kemana terkalahkan oleh ego.

Tidak jarang aku kembali menggali isi pikiranku. Aku bahkan tidak peduli sama sekali dengan hidupku selama hidup yang kujalani tidak meresahkan mereka, orangtuaku. Maka bersyukurlah aku dikaruniai orang-orang bijak yang telah menyumbang kebijakan dalam jalan ceritaku. Maka bersyukurlah aku karena sejauh ini orientasi hidupku menuju kutub positif.

Keterbatasanku adalah sangat. Kedewasaanku adalah temporer. Kesempurnaanku adalah mimpi. Namun hidupku adalah kenyataan yang senyata-nyatanya membutuhkanku untuk menjadi pribadi yang harus berpikir normal, rasional, dalam bingkai agamaku. Karena aku seorang muslimah.

Selasa, 08 Februari 2011

-78- Page's Review

Setiap kali aku membuka halaman blog ini, tidak jarang kemudian aku tersenyum sendiri. Lucu. Kuning, merah, hijau... entah apa tema template-nya. Yang jelas, seketika proses loading berhasil, aku serta merta langsung ingat dengan jelas bagaimana prosesnya dulu yang mengakibatkan jadi beginilah bentuk rumah mayaku. It's The Real WEE namanya, yang dikarenakan 'kemalasribetan' dan 'kemalasberpikiran'ku, aku tidak berminat menggantinya sama sekali.

Tahun 2009 adalah masa keemasannya. Setelah sukses dibuat di tahun 2008 dengan menyingkirkan kebiasaan lama, gonta ganti url, akhirnya di 2009 ia baru benar-benar kurengkuh *sori, lebay dikit :D*. Tidak puas dengan template standar, akhirnya aku googling sana sini dan menjatuhkan pilihan ke template yang sekarang. Liat-liat blog orang lain yang punya menu bar di bagian atas, jangan ditanya, aku pun berminat, dan pastinya... googling lagi. Setelah terlalu banyak melakukan modifikasi dari hasil googling, utak atik kode html, akhirnya... seperti sekarang-lah rupa blog ini. Berhubung aku sering oon soal coding, dan daripada tambah kacau balau, maka kekurangan di sana sini dalam urusan penampilan mohon jangan dilihat ya teman. Anggap saja tak ada yang aneh :).

Waktu itu semangat ngeblog sedang berada di puncaknya. Dari segi isi, rasanya semua yang terjadi ingin kubuat cerita, penting gak penting. Dari segi traffic, aku mengejar page rank yang semakin tinggi. Jadi apa yang kulakukan untuk itu? Apa lagi... blogwalking sana sini dan aktif menjadi follower pada blog-blog yang menurutku bagus, dan pastinya tidak lupa meninggalkan jejak, hehe. Hasilnya... follower-ku nambah, page rank meningkat, juga masuk 50 teratas di top seratus (halah Wee, gitu aja hepi banget lu :p).

Lama kelamaan aku pun bosan dan kekeringan ide. Hal gak penting yang dulu mudah saja menjelma sebuah cerita tiba-tiba berubah menjadi hal penting yang sulit diceritakan kecuali kepada diary. Ternyata semakin jarang diupdate, traffic semakin sepi. Lalu kuperbaharui lagi niatku, bahwa aku hanya butuh berekspresi di ruang publik dalam wujud gerbong-gerbong aksara, tanpa peduli pada apa dan siapa yang sudi untuk mampir. Meskipun ternyata... tidak sedikit juga yang menyimak dengan setia setiap ceritaku (are you, guys? ^^). Yang pasti, aku berharap ada (sedikit) kebaikan yang bisa dipetik.

Malam ini, ingatanku terlempar pada zaman kuliah ketika aku mempublikasikan halaman ini, web-ku yang pertama. Tiba-tiba aku melihat diriku yang sedang asik-asiknya ngutak-atik Dreamweaver, mengumpulkan artikel tentang apa saja dari segala penjuru, memindahkannya ke halaman hasil rancanganku sendiri, lalu mulai belajar menggunakan hosting gratisan. Itulah hasilnya. Halaman-halaman statis khas mahasiswa yang baru belajar. Harap maklum jika ia sedikit alay :D.

Kuarahkan kursor menuju tab lain di jendela Mozilla-ku. Halaman-halaman biru itu muncul di layar. Halaman-halaman yang membuatku ikut membolak-balik lembar-lembar masa lalu yang tiba-tiba terasa begitu indah dan berarti, kemudian memaksaku tersenyum karena pernah menghabiskan waktu di masa itu. Sungguh, malam ini aku terus tersenyum.

Minggu, 30 Januari 2011

-77- Aku Hari Ini

Aku pernah berharap agar tidak dikaruniai rasa. Supaya aku tak perlu bersedih ketika harus kehilangan. Supaya aku tak perlu menangis ketika harus ditinggalkan. Supaya aku tak merasa pedih ketika harus mengabaikan. Supaya aku tak perlu terluka ketika harus merelakan. Supaya aku tak perlu berteriak atas setiap kemarahan. Supaya aku tak perlu tertawa atas kelucuan tak berkesudahan. Supaya aku hanya harus tersenyum, dengan setulus-tulusnya yang aku bisa. Sekali lagi tanpa rasa.

Aku pernah berharap atas kesendirian. Supaya aku tak perlu cemas jika harus mengacuhkan. Supaya aku tak perlu sungkan jika harus menyakiti. Supaya aku tak perlu berpura-pura atas kebahagiaan ataupun kepedihan. Supaya aku tak perlu mengenang setiap momen bersama. Supaya aku tak perlu berlari atas sebuah keraguan. Supaya aku tak perlu galau atas tingkah manusia manapun. Supaya aku tak perlu belajar bagaimana menghargai. Supaya aku tak perlu mengenal kata berbagi.

Sampai kemudian kulihat sorot itu. Sorot yang terpancar dari sepasang mata yang begitu indah, begitu damai, dan begitu menyenangkan. Saat itu aku bersyukur karena aku dikaruniai rasa. Aku masih dikaruniai rasa yang mampu membuatku layak untuk menangkap aura kesejukan hanya dari sepasang mata. Tenang dan polos. Seandainya ia sehelai kain, mungkin ia bukan sehelai kain putih jika putih itu adalah warna. Ia adalah sehelai kain bening dan transparan yang tidak mampu menyembunyikan apapun, dendam, angkara, tipuan, gulana, bahagia, sayang, juga kasih. Hanya hatinya yang terlihat. Hati yang membuat bahagia mata-mata manapun yang melihatnya, hanya jika pemilik mata-mata itu memiliki hati seorang ibu.

Sampai di suatu hari aku merasakan kerinduan, kerinduan yang sangat. Aku hanya ingin melihat sorot itu. Sorot yang mampu membuktikan bahwa aku mempunyai rasa. Sorot yang membuatku merasa begitu beruntung atas hidupku. Aku merasakan bahagia karena tidak pernah sendiri. Dan sungguh, aku tidak pernah tersiksa atas semua kerinduan itu. Maka aku bertanya pada hatiku, masihkah aku menginginkan kesendirian dalam duniaku? Sungguhkah aku sanggup jika aku harus benar-benar sendiri membentangkan layarku?

Aku hanyalah sekumpulan huruf yang kurangkai membentuk definisi atas apa dan siapa diriku. Aku pernah menyesali atas harapanku pada kesendirian dan tanpa rasa. Aku pernah menampar diriku atas setiap helaan napas yang kulakukan tanpa bersyukur. Aku juga menghardik suara hatiku yang entah merujuk pada cerita hidupku di bagian yang mana. Aku beruntung jalanku lurus. Aku beruntung telah dibekali banyak "karena". Aku juga beruntung karena tak pernah kehilangan kasih. Aku hanya khawatir, jika aku hari ini adalah perempuan yang rumit.

Jumat, 21 Januari 2011

-76- Ragam Waktu di Suatu Pagi

Bahkan di suatu pagi aku terbangun dengan rembesan keringat yang mampu membuat pakaian terasa benar-benar tak lagi kubutuhkan. Aku bergumul dengan hawa panas yang kontras menyeruak menutup segarnya udara pagi yang seharusnya ada di sana. Semua terasa berat. Ketika keadaan tidak bersinergi dengan keinginan. Sekedar memaksa kelopak mata untuk bergerak pun rasanya aku tak berdaya. Kontrol otak benar-benar hanya menjadi teori semata, karena justru di pusat kendali sedang terjadi kudeta dan penolakan besar-besaran.

Suara itu selalu ada. Suara yang katanya berselang setiap satu detik, penunjuk bahwa suatu hal bernama waktu tak hendak beristirahat barang sejenak. Telingaku sama sekali tidak kuperintahkan untuk bekerja. Namun sekali lagi kontrol otak terbukti sekedar menjadi teori. Pun mataku. Bahkan ketika aku harus berjuang habis-habisan berdamai dengan kantuk, tanpa perlu komando, sang pupil bergerak menuju jarum yang tak henti-hentinya mengeluarkan suara yang sama sekali tidak merdu. Dan setelahnya, tiba-tiba aku langsung merasa betapa sejenaknya mentari bersemayam.

Aku begitu mencintai kegelapan ketika kusadari jikalau cahaya itu muncul maka aku harus segera pergi. Aku menyayangkan suatu malam yang pekat berakhir begitu saja saat kulitku harus rela tersentuh dinginnya air ketika langit tak lagi hitam. Kulihat tumpukan warna yang tak bisa hanya dibuang saja, lalu selesai semuanya. Kuraba perutku yang ternyata benar-benar tidak mampu hanya diiming-imingi air putih dua gelas belimbing. Aku terpana menyaksikan onggokan-onggokan hal tak penting penunjang kepercayaan diri masih tak terbenahi. Dan tiba-tiba duniaku terasa berada di atas sebuah halilintar raksasa.

Langitku menuju warna kuning muda. Ditemani benda-benda bergerak semu di kiri dan kananku, kurasakan sesuatu yang berada di dalam keningku masih bekerja keras. Entah apakah kerja kerasnya membuahkan hasil yang setimpal atau tidak. Seingatku, kemudian aku hanya bisa terdiam, ingin sekali memaksa mereka memandang hidup sebagaimana yang aku inginkan untuk mereka pandang. Ingin kujejalkan berbagai opini agar semua terasa sama, ditingkahi serupa, dalam sudut yang saling berhubungan. Aku juga ingin memasukkan ide, kesepahaman dan derajat toleransi yang sifatnya mutlak sesuai standarku. Meski aku selalu sadar, bahwa dan padahal aku bukan siapa-siapa kecuali bagi diriku sendiri.

Bosan berurusan dengan kecamuk, tiada yang lebih baik daripada membuang penat. Begitu sulit menganaktirikan suasana hati yang sering memburuk dengan sangat tiba-tiba. Juga terasa tak rela membuang murka hanya dengan memerintahkan memori menghapus semua tanpa sensor. Karena sungguhpun kemarin dan tadi malam dunia sangat biasa, beratus-ratus jam sebelumnya bahkan hanya seutas benang mampu menyulut kedengkian. Dengki yang kemudian sangat tidak berseni dan terasa monoton, timbul tenggelam dalam perubahan cuaca yang ekstrem menerpa. Benar-benar tak layak untuk dipertahankan.

Lalu kurasakan aku membongkar-bongkar tumpukan gambaran tidak dengan tangan. Mencoba menarik kesimpulan bahwa aku butuh kedinamisan untuk sekedar merasa bahwa aku tetap tumbuh. Kutemukan secarik helai masa lalu yang mungkin bisa kuulangi, hingga aromanya yang dulu kurindukan dapat kembali kurasakan. Aku ingin berjalan dengan hati, mengumpulkan setiap sudut terang yang sering dengan sadarnya kucampakkan begitu saja. Hingga kupastikan bahwa aku tetap punya dua puluh enam aksara yang terikat dalam kesatuan diriku sebagaimana adanya. Karena hanya yang pantas berubahlah yang harus berubah. Dan aku akan menjemputnya.