Kamis, 09 Desember 2010

-75- Aku Memimpikan Sebuah Rumah

Aku memimpikan sebuah rumah. Rumah yang sebenar-benarnya rumah. Sebuah bangunan dengan atap, dinding dan lantai. Sebuah konstruksi yang menggabungkan beragam material, entah batu ataupun kayu, dan bersinergi menciptakan labirin-labirin yang teratur, tertata tepat sebagaimana fungsinya, dan terbentuk tepat sebagaimana konsepnya.

Aku memimpikan sebuah rumah. Rumah yang mempunyai cukup ruang bagi penghuninya untuk menerima banyak tamu. Namun juga rumah yang membiarkan masing-masing penghuninya tetap saling menghargai privasi. Rumah yang tidak besar dan tidak kecil, terawasi, terkendali, beraroma keramahan, berhias keterdidikan, bernuansa keterbukaan, religius serta beradab.

Aku memimpikan sebuah rumah. Rumah yang penghuninya menyapu lantai setiap hari. Rumah yang tidak secuil noda-pun akan ditinggalkan di dapur. Rumah yang kamar mandinya akan dibuat selalu nyaman. Rumah yang semua barang di dalamnya mempunyai tempat sendiri-sendiri, rapi dan pasti. Rumah yang dihuni orang-orang penggila kebersihan, pembenci tikus, pencinta keteraturan, pemuja keanggunan, juga pendendam nyala dan asap rokok.

Aku memimpikan sebuah rumah. Rumah yang tidak terbuka sehingga dari luar orang-orang bisa mencium aroma pengharum kamar yang digunakan. Juga rumah yang tidak tertutup sehingga penghuni rumah sebelah bahkan tidak tahu berapa orang yang menetap. Sekedar rumah yang membuat orang-orang di dalamnya mampu mengenal sekitar. Sekedar rumah yang membuat orang-orang di sekitarnya tak segan untuk berkunjung.

Aku memimpikan sebuah rumah. Sebuah rumah milikku sendiri dan bukan milik orang lain. Sebuah rumah dimana aku adalah ratunya. Sebuah rumah dimana aku akan duduk manis, merasa bahagia, tersenyum menikmati cuaca di suatu sore sembari menunggu sesuatu.

Dan ternyata… Kemudian aku benar-benar tersenyum, lalu tertawa tertahan. Jika aku masih memimpikan sebuah rumah seperti itu, berarti aku harus menikah dengan diriku sendiri, membelah diri dan menghasilkan replika-replika seorang aku. Selanjutnya, aku, aku dan banyak aku-aku yang lain akan saling menyusun tembok setinggi-tingginya.