Minggu, 24 Oktober 2010

-73- Pesta Malam Itu

Minggu Lalu

Setelah beberapa bulan berlalu, akhirnya janjiku kutepati. Aku berjanji untuk silaturahim ke rumah salah seorang kenalan. Rumahnya tidak terletak di daerah yang sulit dijangkau, tidak juga daerah sepi. Namun entah kenapa aku butuh waktu berbulan2 sekedar untuk memenuhi satu janji itu saja. Mungkin karena aku terlalu malas untuk mempererat tali silaturahim. Juga terlalu asik dengan diri dan hidupku sendiri.

Bertanya kabar dan kesibukan, itulah yang pasti kulakukan. Topik pembuka pembicaraan yang sangat umum dan ampuh untuk memancing topik2 selanjutnya agar obrolan mengalir begitu saja. Upps, dalam hal ini aku agak sedikit sok tahu urusan perkomunikasian, hehe. Nah, kebetulan hari itu Minggu. Dan kebetulan juga banyak acara nikahan. Aku lupa bagaimana awalnya, sampai kemudian obrolan kami menuju tema pesta pernikahan.

Apa lagi yang menarik untuk dibahas dalam tema tersebut selain tentang adatnya. Yup, lain daerah, lain suku, lain pula adat yang digunakan dalam pesta pernikahannya. Kedua temanku saling membagi cerita tentang adat yang mereka tahu (lupa ngasitau: kami ngobrolnya bertiga ya). Pastinya aku menimpali, dengan cara membandingkannya dengan adat yang juga aku tahu. Dan, karena yang ngobrol para cewek2 (terutama, ada aku-nya ding), maka apapun bahasannya, dijamin seru .

Seorang teman menceritakan kebiasaan penyelenggaraan pesta pernikahan yang menurutku cukup aneh. Kebetulan yang menikah adalah salah satu familinya. Di daerah itu, untuk mengadakan pesta pernikahan butuh modal banyak. Betapa tidak, pesta pernikahan bisa berlangsung beberapa hari. Misalnya, acara inti adalah Hari Minggu. Nah, berarti acara Hari Minggu adalah untuk undangan yang sifatnya umum, boleh bapak2, ibu2, anak2 muda, orang2 sekitar, atau para tamu jauh. Tapi, acara yang menarik adalah hari sebelumnya.

Hmm, aku lupa bagaimana urutannya. Kapan acara khusus bapak2 dan kapan acara khusus ibu2. Kebetulan ingatanku agak sedikit parah dalam menangkap detil cerita yang (kukira) tidak terlalu penting, lalu belakangan baru kusadari bahwa sebenarnya aku telah melewatkan inti cerita, hehe. Oke, balik lagi ke tema awal. Yang aku ingat adalah bahwa acara untuk muda mudi berlangsung Sabtu malam. Nah, pada saat itu yang datang ke tempat pesta adalah para muda mudi, cewek cowok, laki-laki perempuan. Semua berkumpul untuk berpesta.

Apa kegiatan mereka selama berpesta? Yang pasti nyanyi2. Ada biduannya juga, dan menurut temanku itu, rok-nya Sang Biduan makin malam akan makin mini *tuing tuing*. Selain itu, tuan rumah juga HARUS menyediakan minuman. Minumannya bir, dan sekali lagi sifatnya WAJIB. Kalo gak ada bir, dipastikan akan ribut. Jadi tidak heran kalau temanku bilang bahwa ngadain pesta di sana butuh modal tidak sedikit.

Sekitar jam 11 malam lampu akan dimatikan. Sebelum itu biasanya para ibu2 sudah sibuk menyuruh anak gadisnya bubar. Sudah waktunya gelap2an, dan di waktu tersebut pesta dipenuhi kaum adam. Mereka berjoged bersama biduan. Mesti bawa saweran biar biduannya mau menghampiri. Kalo nyawernya banyak, pasti disamperin sama biduannya. Sang biduan, ditarik ke pojokan, ayo aja, ke tempat lebih gelap, oke aja, asal rupiahnya banyak. Hii… biduannya tidak hanya satu loh, bisa sampai empat orang. Dan yang paling pasti adalah bahwa ntu biduan digerayangi alias dipegang2 oleh para lelaki yang entah masih sadar atau tidak. Kalau mendengar ceritanya, tidak heran jika sering terjadi keributan di acara malam suatu pesta, atau terjadi perkosaan setelah menghadiri pesta malam. Memang dipancing sih…

Acara malam itu tidak hanya dihadiri oleh para bujang, bapak2 juga banyak yang ikutan nyawer. Maka dari itu, bukan hanya yang punya hajat yang abis duit, yang ikutan pesta juga mesti merogoh kocek biar bisa ikutan hepi2. Para istri juga melihat dari dalam rumah. Mereka melihat semua tingkah suami mereka. Temanku iseng bertanya pada salah seorang ibu, “Ibu gak marah suaminya gitu?”. Dan Si Ibu menjawab, “Mau gimana lagi, biarin aja daripada ribut…” Weleh-weleh…

Lama kelamaan tidak sedikit hadirin yang tumbang di sana sini. Mabuk kali yah. Lalu menjelang pagi tempat akan dibersihkan untuk acara hari Minggunya. Dan, pagi harinya bapak2 yang malam sebelumnya pada nyawer dan mabuk, seperti tidak berdosa, akan datang lagi dengan peci dan baju kokonya. Lucu, benar2 lucu. Aku sampai terkesima mendengar ceritanya. Hmm, ternyata begitu…

Seminggu Sebelum Minggu Lalu


Malam hari sekitar jam 11 aku dan beberapa teman melakukan perjalanan malam dan melewati suatu daerah. Kebetulan di daerah tersebut sedang ada pesta. Mobil yang kami naiki berjalan pelan melewati keramaian, kebanyakan pemuda2 tanggung. Aku mendengar suara musik, tapi panggung dan tendanya gelap. Wah, orang2 ini sudah tau listrik mati masih juga pesta2, begitu pikirku. Kuperhatikan lagi keadaannya dengan seksama. Ada banyak sekali bir2 yang disusun berjejer di tempat itu. Apa? Pesta malam, full musik dengan cewek berbusana seadanya bergoyang di panggung, gelap2an, pake acara jual minuman keras juga? Berminat memancing keributan dan menggalakkan maksiat ya? Ck ck ck, aku heran dan tak habis pikir. Astaghfirullah… Jauhkanlah kami dari hal2 seperti itu Ya Allah…

Lalu… pertanyaan atas keheranan2ku itu tidak sengaja terjawab seminggu kemudian.

Jumat, 15 Oktober 2010

-72- Transaksi Berinfaq

Kemarin pagi aku akan keluar dari parkiran sebuah bank. Motorku terhalang motor-motor lain yang melintang semrawut. Kucari abang tukang parkir. Dengan ekor mataku kudapati dia tengah bertransaksi, mencari-cari kembalian untuk seorang bapak yang membayar parkir dengan uang sepuluh ribuan.

Dia merogoh-rogoh tas pinggangnya, mencari-cari dan menghitung hingga sejumlah Rp.9.500. Selesai. Tidak sampai dua menit kemudian dia sudah berdiri di depanku, membantu mengeluarkan motorku, lalu aku bayar dan langsung pergi.

Kejadian itu sangat biasa. Sebiasa kejadian-kejadian nyaris serupa lainnya yang langsung terlintas di pikiranku kala melihat si abang tukang parkir merogoh dan mencari-cari rupiah dalam tasnya. Kejadian yang beberapa kali aku temukan ketika kotak infaq tengah digeserkan di masjid. Kejadian yang (sekali lagi) adalah biasa, tapi terasa sedikit aneh di mataku.

Waktu itu aku shalat tarawih di masjid. Ketika ceramah, kotak infaq digeser melewati para jamaah. Lazimnya, orang-orang akan memasukkan infaq melalui celah kecil di atas kotak, lalu menggesernya kembali ke jamaah lain. Namun seorang ibu bertingkah lain. Dia membuka kotak tersebut, mencari-cari sejumlah nominal untuk kembalian infaq yang dia bayar dengan uang sepuluh ribuan.

Aku tersenyum melihatnya. Lalu aku teringat pada aksi serupa seorang gadis ketika acara galang dana musibah bencana alam beberapa tahun sebelumnya. Sepertinya biasa. Namun aku yakin bahwa bukan hanya aku yang akan tersenyum melihat kejadian seperti itu, lalu berpikir bahwa hal tersebut terlihat aneh.

Plis deh Bu... Apa salahnya kesemua sepuluh ribuan itu diinfaqkan. Atau memang sudah dari sebelumnya siapin aja uang receh untuk infaq. Tapi... Masih mending dia mau infaq Wee. Siapa tau memang tinggal sepuluh ribuan itulah yang dia punya, padahal dia masih harus membeli makanan untuk anaknya. Tapi lagi, sepertinya ibu itu bukan orang tak punya. Idih, infaq aja pelit banget sih. Rrrghhh, malah aku yang rese ini :(

Hmm, seharusnya aku berpikir sama halnya kejadian di tempat parkir. Bukankah bapak itu tidak punya uang receh sama sekali, tapi tetap harus bayar parkir yang cuma 500 perak. Jadi apa salahnya bayar pake sepuluh ribuan. Bikin sebel sih, soalnya jadi ribet, tapi gak salah kan? Iya sih, tapi lagi2 aku berpikir bahwa urusan infaq kan beda. Infaq adalah urusan amal dan pahala, masa pelit amat si... Uppsss...

Ah, sudahlah Wee. Yang penting kalau kamu tidak sayang menghabiskan rupiah untuk barang yang tidak terlalu perlu, kenapa kamu pelit berinfaq? Biarlah kejadian2 itu berlalu, berasa aneh dan tidak lazim. Namun jangan sampai kamu men-judge ini itu gak jelas. Urus saja dirimu sendiri ^^

***

Suatu hari sebuah kotak infaq kembali digeser. Ada lagi yang membukanya dan mencari-cari uang receh. Tapi bukan untuk kembalian, melainkan untuk menukar uangnya yang besar menjadi recehan...

(iseng2 ditemani lilin, dalam gelap malam, listrik mati, air pun mati)