Rabu, 09 Januari 2013

-105- Belajar Ikhlas Yuk!

Teman-teman pernah mendengar Survei Perilaku Anti Korupsi?
Emang itu survei apaan Wee? Maksudnya gimana ya?
Hmm, kalau teman-teman gak tau, saya tetap gak mau bahas kerjaan ah. *idih, kok saya kayak lebay gitu ya, padahal gak ada juga yang nanya*. Saya cuma pengen ngasihtau, bahwa salah satu indikator tidak anti korupsi itu adalah adanya keinginan atau harapan dari dalam diri seseorang untuk mendapatkan imbalan atas sesuatu.

Jadi misalnya begini, ketika seseorang mengikuti acara kampanye salah satu calon gubernur, ada nggak harapan yang terbersit dalam hatinya bahwa dia ingin mendapatkan imbalan, mungkin beberapa puluh ribu setelah ikut kampanye tersebut. Nah, jika ternyata ada (walaupun sedikit), berarti ini adalah salah satu indikasi bahwa sebenarnya orang tersebut tidak anti korupsi. Kira-kira begitu. Keinginan semacam itu  sebenarnya lebih berbahaya, karena hati yang seharusnya paling peka untuk menolak malahan berlaku permisif.

Sekarang saya mau sedikit cerita tentang berharap atau harapan. Rasanya wajar saja ya, harus malah, kalau dalam hidup seseorang harus mempunyai harapan. Harapan itulah yang akan menggiring kita untuk melakukan sesuatu sampai ia terwujud. Harapan itu yang membuat kita terus bergerak mendekatinya. Makanya penting sekali supaya harapan yang kita tanamkan dalam hati, atau kita wariskan kepada anak cucu kita berupa sesuatu yang positif. Tapi, kali ini kita tinggalkan dulu harapan yang dimaksud barusan. Kita cerita tentang harapan yang lain, harapan setelah kita melakukan sesuatu (untuk orang lain).

Harapan memang banyak ragamnya. Tak habis huruf menggambarkannya. Harapan yang saya ingin ceritakan di sini adalah harapan yang berupa imbalan. Sadar atau tidak, kita sering mengharapkan imbalan setelah melakukan sesuatu. Entah itu berupa materi ataupun sekedar suatu penghargaan dari orang yang kita bantu. Ketika kita mengerjakan kerjaan kantor yang lebih banyak daripada teman-teman lain misalnya, eh... secara tidak sadar kita berharap supaya mendapat honor lebih banyak juga. Atau ketika kita membantu memperbaiki komputer, kita berharap orang-orang menganggap kita 'lebih' dan berterimakasih kepada kita. Itu sekedar contoh sepele, tapi teman-teman yang sehari-harinya bekerja di lingkungan kantor pasti sangat paham. Sepertinya kita perlu sedikit wisata hati, mencermati kembali tentang ilmu ikhlas.

Saya tidak merasa jadi orang yang paling ikhlas. Hanya ingin mengajak teman-teman merenung kembali tentang ilmu ikhlas yang sudah diajarkan agama kita. Saya ingat rapat pertama kami dengan bos baru di kantor. Rapat yang benar-benar berkesan. Pak Bos bercerita tentang ikhlas, mengingatkan kembali tentang keajaiban ikhlas... dan saya ingin sekali mendokumentasikannya. Biar ceritanya tak hanya mampir ke otak saya, dan otak teman-teman lain yang ikut rapat. Biar teman-teman yang membaca blog ini juga diingatkan kembali, seperti halnya saya yang harus selalu diingatkan. Dan... semoga ini bisa menjadi amal jariah buat Pak Bos, amiinn :)

Iri-irian sama pekerjaan dan penghasilan di kantor... rasanya sudah jadi hal yang wajar ya. Apalagi menyangkut rezeki yang sayangnya seringkali hanya dimaknai dengan berapa rupiah yang bisa masuk ke kantong. Kita lupa, bahwa rezeki tak melulu urusan materi. Kita diberi kesehatan, punya anak-anak yang riang, keluarga lengkap... itu juga bagian dari rezeki. Kita juga lupa bahwa Allah sudah berjanji akan menambah nikmatNya jika kita bersyukur. Intinya, bekerja dengan ikhlas, berharap hanya kepada Allah... dan kita akan mendapatkan lebih dari yang kita bayangkan.

Belajar Ikhlas


Coba lihat ilustrasi di atas. Jika kita punya 1, lalu kita berharap mendapat 10, berapa yang kita peroleh? Ternyata hanya 0,1. Jika kita punya 1, lalu kita berharap mendapat 2, kita akan memperoleh 0,5. Bagaimana jika kita mempunyai 1 dan berharap mendapat setengah saja? Maka kita justru akan memperoleh 2, lebih banyak dari yang kita punya tadi. Dan... betapa ajaibnya jika kita punya 1, lalu kita tidak mengharapkan apapun atas apa yang kita punya tersebut (dalam hal ini berarti kita tidak mengharap imbalan apapun)... maka tak terhingga yang akan kita peroleh. Subhanallah...

Ini murni soal harapan. Sesuatu yang tidak bisa disentuh, hanya ada dalam hati manusia. Ini murni soal syukur, atas apa yang sudah kita peroleh. Kenapa kita sering ragu akan janji Allah? Bukankah Dia berfirman, "Dan jika kamu sekalian bersyukur atas nikmat yang Aku berikan, maka niscaya akan Aku tambah nikmat-Ku untukmu. Dan jika kamu sekalian kufur atas nikmat-Ku, maka sesungguhnya azab-Ku itu sangat pedih." (QS. Ibrahim: 7)

Perhatikan kalimatnya... Jika kita bersyukur, Allah bilang "... maka niscaya akan Aku tambah nikmat-Ku untukmu.". Dan ketika kita kufur, tidak bersyukur, Allah gak bilang akan mengurangi nikmatNya, melainkan Allah bilang... "...azab-Ku itu sangat pedih.". Subhanallah ya... :)

Filosofi sederhananya begini... Anggap saja kita hanya punya sepotong tempe dan sepiring nasi untuk makan siang. Ketika kita bersyukur mengucap alhamdulillah masih ada lauk, maka Allah akan menambah nikmat kita. Bukan dengan cara menambah lauk kita saat itu juga, melainkan dengan perasaan yang begitu nyaman ketika nasi dan tempe masuk ke mulut menuju lambung. Perut pun terasa kenyang. Hati kita rasanya tenang. Tapi coba kalau kita tidak bersyukur. Allah juga tidak akan mengurangi lauk kita saat itu juga, melainkan kita akan makan dengan bersungut-sungut, mungkin sambil mengomel. Tempe dan nasi terasa tidak enak, ketika makan tersedak, kerongkongan sakit, dan perut tidak terasa kenyang sama sekali. Hati gak nyaman... dan itulah semua azab-Nya.

Saya sendiri sering mendapatkan betapa Allah menyayangi saya. Ketika saya benar-benar tidak mengharapkan apapun setelah melakukan suatu kebaikan, justru di lain waktu Allah melimpahi saya dengan nikmat yang membuat saya berdecak kagum, betapa besar karunia Allah. Malahan, ketika saya kufur atau ingin mendapatkan imbalan... Allah kemudian melalui suatu kejadian berhasil membuat saya sadar agar kembali bersyukur. Betapa saya merasa Dia telah menjaga saya dari kekufuran yang semakin parah. Tinggal sayanya yang harus pintar berpikir, mencerna setiap ketentuan Allah atas hidup saya.

Allah lah yang menggenggam kehidupan kita. Hanya kepadaNya kita seharusnya berharap. Tentu kita percaya bahwa Dia tidak akan meninggalkan kita, gak akan nyuekin usaha keras kita, gak akan mengacuhkan doa-doa kita. Semoga kita selalu ikhlas dalam bekerja, juga dalam menolong sesama... lalu serahkan sisanya kepada Allah.

Etapi, trus apa hubungannya sama anti korupsi yang saya tulis di awal tadi ya... Ah, cuma prolog kok ^_____^

Kamis, 03 Januari 2013

-104- Sekelumit Tentang Hantaran...

Ceritanya Minggu lalu adik sepupu suami saya sudah dilamar. Kebetulan rombongan calon suaminya yang mau ngelamar nginepnya di rumah mertua saya. Saya melihat-lihat sepintas lalu barang-barang bawaan mereka, hantaran lah namanya mungkin ya... Saya kan belum pernah benar-benar menyaksikan prosesi lamaran, jadinya kemarin saya berasa jadi orang paling kepo sejagat raya.

Jadi ingat dulu barang-barang hantaran waktu saya nikah. Barang-barang yang sebenarnya saya pilih sendiri dan saya beli sendiri... tapi tentu saja duitnya dari calon suami dong. Namanya juga hantaran. Namun entah kenapa rasa-rasanya kok ada sesuatu yang kurang nyess gitu. Kalau diibaratkan melakukan suatu kegiatan, semua jadinya terasa seperti sekedar sebuah rutinitas yang tidak meninggalkan kesan, agak hambar. Mungkin ada banyak dari kita yang melakukan itu, tanpa kita sengaja. Kita terwarnai dengan adat dan kebiasaan yang sama sekali tidak kita rasakan benar-benar hakikatnya.

Calon suami adik sepupu kami itu membawa beberapa kotak cantik berisi alat-alat kosmetik, sandal, baju tidur sejenis lingerie (ehemm... hihihihi), trus apa lagi ya... berhubung saya gak bongkar-bongkar, jadi gak terlalu jelas. Yang pasti ada sepasang cincin. Ya, mereka memang pake acara tukar cincin, buat yang perempuan cincin emas putih, dan yang laki-laki cincin dari perak.

Trus apa hubungannya sama kamu Wee?

Gak ada sih. Saya hanya jadi ingat pengalaman prosesi hantaran dalam pernikahan saya dulu. Saya ingin sekali memberitahu teman-teman yang belum pernah menjalaninya a.k.a belum pernah menikah, betapa banyak hal yang kita lakukan itu begitu tidak perlu (catat ya, ini menurut saya). Tidak lain tujuannya hanya supaya teman-teman tidak membuang-buang uang hanya untuk hal yang kurang penting dan malahan tidak praktis. Supaya kalian nanti bisa benar-benar mempersiapkan prosesi pernikahan yang lebih barokah dan terasa sakralnya. Bisa lebih bijak memilah-milah mana adat yang bisa diikuti dan mana yang sebaiknya ditinggalkan.

Kita mulai kilas balik ya... Ketika saya akan menikah, saya mulai merasa dunia berputar-putar. Saya pusing sendiri. Saya bertanya2 ke semua orang (termasuk mbah google) tentang apa-apa saja yang harus dibawa sebagai hantaran. Saya tanya kakak saya... aneh, kok bisa saya gak mau tau barang-barang apa yang didapatkan oleh kakak saya dari suaminya saat dia menikah dulu. Saya gak perhatian amat yak... Kakak saya pun mulai menyebutkan, mulai dari underwear, kosmetik, baju, makanan, trus apa lagi ya... tuh kan saya lupa... Saya tanya ibu saya, apa saja isi hantaran salah satu sepupu saya dulu, dan jawabannya hampir serupa, tapi tetap saja kurang mendetil. Saya lalu bertanya pada mbah google, sebenarnya hantaran itu untuk apa sih hakikatnya, apa saja isinya menurut adat istiadat di tempat saya. Gila... bahkan mengingatnya sekarang pun masih bisa membuat saya pusing...

Di tempat saya, kalau benar-benar mau diikuti, prosesi lamaran itu ribet loh. Barang-barang hantaran-nya banyak banget. Untungnya bapak saya bukan tipikal yang ngikut adat banget, atau yang mesti begini begitu, fleksibel saja. Tapi sayanya yang ribet, karena calon suami saya menyerahkan sepenuhnya kepada saya barang-barang apa yang akan dijadikan hantaran, dan saya sendiri yang diminta menyiapkannya. Yah, seperti kebanyakan yang sering terjadi ketika calon suami bukan orang sedaerah. Mungkin mempertimbangkan jauhnya jarak, juga bahwa toh barang-barang tersebut memang untuk saya, jadi akan lebih baik jika merupakan pilihan saya sendiri, alhasil saya nurut, dan semakin ribet lah saya... Dengan keribetan saya itu, dikombinasikan dengan kefleksibelan bapak saya, ke-gak enak-an ibu saya kalau hantaran ditiadakan, serta jauhnya domisili saya dan calon suami beserta keluarganya, setelah dipilah-pilah akhirnya saya tentukan barang-barang hantaran yang akan dibawa calon suami saya pada saat akad nikah.

Ini dia barang-barang hantarannya (siapa tau ada yang mau menjadikan referensi):
1. Songket.
2. Paket kosmetik, berupa bedak, pelembab, krim malam, body lotion, lipstik, maskara, eye shadow, blush on, dll... pokoknya alat-alat make up deh... trus ditambah parfum.
3. Paket perlengkapan mandi, berupa sabun, sponsnya, shampo, lulur, sabun muka, pasta gigi, dll... jangan lupa handuknya.
4. Bed cover set.
5. Long dress, beberapa jilbab, bahan kebaya dan bahan batik khas Bengkulu.
6. Kain panjang dan kain sarung.
7. Tas kerja, clutch, sandal, tambahin sepatu boleh juga, tapi saya gak pake sepatu.
8. Underwear (beberapa cd dan bra) juga pakaian tidur (untuk yang ini, cari lingerie aja yah... :p)
9. Jam tangan.
10. Paket buah-buahan.
11. Paket sembako, berupa gula, garam, kopi, teh, kecap, dll.
12. Paket alat sholat. ---> tapi trus malah saya jadiin mas kawin, hehehe...

Done! Akhirnya proses menyiapkan barang-barang tersebut selesai juga meskipun harus dengan terengah-engah. Betapa tidak, saya harus berpacu dengan waktu pulang kampung yang tidak lama untuk menyelesaikan semuanya. Setelahnya, saya hanya akan pulkam lagi pada saat acara dilangsungkan. Beberapa barang malah saya beli secara online, saking gak ada waktu buat hunting. Satu masalah selesai.

Berikutnya, saya kembali bingung, bagaimana cara mengemas barang-barang ini? Saya sama sekali tidak sempat berkreasi macam-macam. Dan saat itu pikiran saya mendadak buntu, karena saya sudah harus segera kembali ke tempat kerja saya, jauh di gunung sana. Setelah bertanya-tanya kesana kemari, akhirnya saya menemukan orang yang bisa menghias hantaran. Teman-teman tau kan maksud saya? Itu loh, orang yang bisa bikin songket jadi burung merak, mukena jadi masjid, bed cover jadi kura-kura, dan semua paket-paket barang di atas dikemas dengan cantik kelihatannya. Masalah selesai... Tapi rupanya keribetan saya dan kekurangjernihan saya dalam berpikir pada saat itu, malah mengajarkan banyak hal kepada saya, betapa seharusnya kita tidak harus direpotkan oleh hal-hal semacam itu. Kita (perempuan) hanya butuh menjalani proses menuju pernikahan dengan tenang, dengan mempersiapkan diri sebaik-baiknya.

Jadi, apa saja yang mungkin perlu diperhatikan lagi oleh teman-teman yang hendak melakukan prosesi hantaran?

1.  Hantaran itu sendiri, perlu gak sih?

Saya sempat berpikir begini, ngapain sih mesti ribet-ribet pake hantaran segala? Ya, kalau dari pihak keluarga (orangtua) perempuan setuju untuk gak pake hantaran, atau bisa dikondisikan untuk gak pake gitu-gituan... ya mending gak usah. Seperti salah satu sahabat saya. Kebetulan dia satu daerah dengan saya, satu adat juga... tapi dia bisa mengkondisikan orangtuanya supaya gakpapa gak pake hantaran. Selesai satu perkara :)

Beda halnya dengan saya. Saya pernah bertanya pada ibu saya, bagaimana kalau gak perlu pake hantaran? Yaa, ibu saya sih gak memaksa. Tapi beliau bilang, masa iya gak ada sama sekali yang dibawa walaupun sedikit. Rasanya seperti agak kurang pantas. Saya pun berpikir sama. Lagian, kasian juga orangtua saya kalau kemudian akan dinilai kurang pantas. Toh itu juga salah satu bagian dari kewajiban pihak laki-laki. Masa iya gak ada perjuangannya sama sekali dalam melamar anak orang. Ya nggak sih? Hehehe...

Saya juga sempat berpikir mendingan biar mentahnya saya pegang, trus saya beli sendiri barang-barang yang saya inginkan sebagai hantaran. Gak perlu lagi dibawa pulang kampung (ke rumah orangtua) untuk kemudian dibawa lagi ke tempat domisili saya dan suami. Bayangkan betapa tidak praktisnya ntu barang-barang dibawa bolak-balik. Tapi... kalau memang begitu bukan hantaran dong jadinya ya...

Lalu, ada gak gunanya diadakannya hantaran itu? Tentu saja ada. Tidak saya pungkiri kebanyakan orang akan menilai isi hantaran sebagai suatu bentuk gengsi. Hantaran banyak, harganya mahal-mahal pula, maka bisa diartikan gengsi si pemberi hantaran (keluarga laki-laki) dan penerima (keluarga perempuan) akan jadi naik. Aneh ya? Manusia memang seringkali senang memperhatikan penilaian manusia lain. Saya gak mau bahas ini ah, takut jadi ceramah gak jelas...

Jadi, apa gunanya hantaran itu Wee? Hmm, setidaknya ketika hantaran disampaikan kepada pihak perempuan, keluarga dan orang-orang terdekat yang berkumpul saat akad nikah akan sangat tertarik untuk ikut melihat-lihat. Lalu... setelah acara selesai dengan semangat 45 mereka ikut makan makanan isi hantaran. Katanya berkah kalau makan makanan hantaran, padahal mereka gak tau makanan itu saya sendiri yang beli, qiqiqiqiq...

2. Bijak memilih isi hantaran.

Coba lihat isi hantaran saya... Songketnya masih mentah, belum dijahit dan belum bisa dipake. Dan sampe sekarang belum pernah dipakai sama sekali karena memang saya bukan tipikal yang doyan pake songket kalo ada acara. Mungkin nanti, kalo adik saya nikah, hihihi... Alhasil, agak-agak kurang berguna deh jadinya... sekedar memenuhi kebiasaan bahwa ada songket dalam hantaran. Padahal kan harganya lumayan ya, bisa buat jajan silverqueen banyak... :(

Atau bed cover set, yang sama saja, sampai hari ini belum pernah dipake sama sekali. Wong dapet kado sprei aja banyak banget loh. Buktikan saja nanti ketika teman-teman menikah. Juga bahan batik dan bahan kebaya, sampe hari ini juga belum dijahit. Kebaya putih untuk akad nikah yang sengaja saya buat spesial aja gak kepake. Juga kebaya lain yang sengaja saya jahit buat dipake pas acara... ternyata dipake gak sampe 1 jam. Mubazir kawan... Juga sandal, clutch, benar-benar belum tersentuh. Padahal kalau dihitung semua rupiahnya, ahh... bisa ngasi  makan banyak orang yang kelaparan.

Intinya, bukan berarti saya mau bilang bahwa semua barang-barang hantaran saya gak ada gunanya. Bukan begitu. Ada banyak juga yang berguna, kayak paket kosmetik atau paket peralatan mandi, pasti dipake kan ya... Tapi gak bisa dipungkiri bahwa memang banyak yang ternyata mungkin tidak terlalu berguna. Atau mungkin itu saya aja ya, karena memilih barang dalam kondisi mepet.

Bijaklah memilih barang dan menghabiskan uang, kawan. Rasanya nyesek di dada ketika semua rangkaian acara sudah selesai, lama... lalu melihat barang-barang itu masih teronggok manis. Nyesek di dada, begitu di jalan ke kantor melihat bapak ibu renta mengais rezeki dengan kepayahan. Saya bukan sok humanis, hanya menginginkan teman-teman tidak mengulang kesalahan yang sama seperti saya. Bukan nyuruh saving uang teman-teman, hanya supaya Anda memilih barang dengan bijak.

3. Hias hantaran dengan benar.

Nah, teman-teman jangan seperti saya. Dulu saya searching di google cara menghias hantaran khas Sumatera Selatan. Bagus-bagus sekali memang, songket dijadikan merak, mukena dijadikan masjid, selimut dijadiin kura-kura, baju-baju dijadikan kucing, kebaya dijadikan putri, kain-kain dijadikan kipas... pokoknya cantik deh. Saya juga lihat foto hasilnya di tempat dimana saya menyerahkan barang-barang hantaran untuk dipercantik.

Barang-barang hantaran harus dibawa ke tempat penghiasan minimal sebulan sebelumnya, soalnya katanya mbaknya gak bisa kalo buru-buru. Mbaknya juga nanya, hantarannya mau diplastikin ato enggak? Berhubung saya tidak punya pilihan lain, dan mengingat waktu yang masih lama dan khawatir berdebu, saya pun mengiyakan untuk dikasi plastik. Alhasil, cantiknya kurang kelihatan deh... :(

 Ini nih beberapa hantaran saya. Cantiknya jadi gak kelihatan.
Maaf ya, saya gak punya foto hantaran yang terlihat jelas.


Dan yang lebih parah lagi... hiks hiks, barang-barang hantaran itu malah jadi rusak. Untuk menyulap semuanya menjadi cantik, ternyata si mbak tidak hanya menggunakan jahit jelujur, melainkan pake lem juga. Entah lem apa yang dia gunakan, ngilanginnya masya Allah susahnya euy... Dia udah bilang dari awal sih, bahwa gak mungkin barang-barang itu akan sama seperti semula, tapi juga gak akan rusak karena lem yang dia gunakan cukup dikasi air, langsung lepas. Kenyataannya? Hiks hiks, saya sedih melihat beberapa barang yang masih terdapat noda lem.

Sayang ya? Udah beli barang mahal-mahal, bayar jasa hias hantaran juga mahal, ehh... barangnya jadi cacat. Coba kalau gak perlu digitu-gituin. Cukup pake kotak-kotak hantaran yang banyak dijual saja, kotaknya cantik-cantik, tertutup jadi gak kena debu dan barang juga gak rusak.Malahan kalau mau lebih hemat, kotak-kotak itu bisa sekedar disewa, gak perlu beli. Aman kan? Ahh, seandainya waktu itu saya punya waktu luang. Maka, bijaklah kawan... jangan sampai menyesal kemudian.

Tuh, coba kalo pake kotak kayak gini, tetap cantik kan?
Gambar dipinjam dari sini.
 

4. Ternyata, masalah rasa tak bisa diabaikan...

Mungkin banyak teman-teman yang sama seperti saya. Berhubung calon suami jauh, jadinya pengantin perempuan sendiri yang menyiapkan dan memilih barang-barang hantaran. Malahan calon suami saya tidak tau sama sekali barang-barang apa yang saya beli. Tapi serius... ternyata semua jadinya kurang menggigit.

Saya sering memakai tas, atau jam tangan, atau jilbab, atau handuk, atau underwear, atau baju tidur, isi hantaran saya dulu. Tapi saya lupa, bahwa yang sebenarnya yang membelikan adalah suami saya, karena duitnya juga dari beliau. Perasaan saya bilang bahwa saya beli sendiri kok... Atau ketika saya beli long dress secara online untuk dimasukkan ke dalam barang-barang hantaran, kemudian ternyata suami saya kurang suka karena membentuk bokong katanya... rasa-rasanya malah saya lupa bahwa sebenarnya baju itu dari suami saya, hanya saja saya yang memilih.

Teman-teman mengerti kan maksud saya?

Saya ingat kakak saya dulu. Tadinya saudara-saudara perempuan suaminya kakak saya mengusulkan agar kakak saya sendiri yang memilih dan menyiapkan barang-barang hantaran. Tapi kakak ipar saya a.k.a suami kakak saya gak mau. Dia maunya memberi kejutan gitu. Jadi, masalah seperti ukuran-ukuran baju dll, cukup sodara perempuannya yang menanyakan kepada kakak saya. Kemudian, pihak laki-laki menyiapkan sendiri barang-barang hantaran. Ah, sudah terbayang betapa beda rasanya. Tau kan bagaimana rasanya menerima hadiah yang sama sekali tidak kita tau sebelumnya?

Mungkin memang semua akan ribet kalau kita bikin ribet. Masalah jarak memang seringkali menjadi penghalang. Tapi, kakak saya saja dulu bisa... Ya, mungkin juga karena faktor saudara perempuan kakak ipar saya yang banyak. Jadi, tukang ngurusin hal-hal kayak begitu juga banyak. Tapi tetap saja, memang rasa gak bisa bohong. Alangkah lebih baiknya jika pihak laki-laki bisa menghandle sendiri urusan hantaran itu. Masalah selera, tanyakan saja kepada calon pengantin perempuan, tapi yang memilih tetap pihak laki-laki. Supaya nendang gitu deh rasanya, hehehe...

Kemudian saya berpikir... Ketika nanti anak laki-laki saya akan menikah, dan Allah menganugerahi saya umur panjang, kita akan melakukan bagian kita sendiri ya nak... Kita akan mengambil porsi kita.

Kesimpulannya?

Jauhi kemubaziran!
Jalani dengan santai dan hati yang tenang, insya Allah semua akan terkendali sesuai harapan.
Jangan grasa grusu dan panik sendiri, karena percayalah... ketika kalian lebih dekat dengan pernikahan, mendadak alam bawah sadar kalian akan menjadi kacau balau :)