Jumat, 23 Januari 2009

-6- Dahulukan Kanan

Dalam Islam, dianjurkan untuk melakukan sesuatu dengan tangan kanan. Makan, minum, berjabat tangan, dll. Kalo pake tangan kiri, selain gak baik, pasti juga dianggap gak sopan.

Lalu, dianjurkan juga untuk memulai segala sesuatu (yang baik2) dengan anggota badan sebelah kanan. Keluar rumah kaki kanan duluan. Pake baju, tangan kanan duluan. Trus, kalo pake kaos kaki berlaku juga gak yah? Lalu apa yang 'sering' kita lakukan jikalau ketika hendak memakai kaus kaki, tapi yang pertama kali terpegang oleh tangan kita adalah kaus kaki yang sebelah kiri?! Langsung tancap gas alias langsung pake ajah, ato dituker dengan yang kanan duluan? Kenapa kalo aq yang berada di posisi tersebut, aq lebih sering tancap gas aja ya?!

Simpel... tapi terkadang terpikirkan juga olehku.

Rabu, 21 Januari 2009

-5- Musashi



Judul : Musashi
Pengarang : Eiji Yoshikawa
Penerbit : Gramedia


Pernahkan anda berada dalam keadaan yang mengharuskan memilih satu diantara dua hal yang anda cintai dalam kehidupan yang hanya sekali ini? Pilihan sulit yang akan menentukan jalan hidup anda selanjutnya.

Hal ini dialami oleh Musashi seorang seniman pedang samurai legendaris dari Jepang, setidaknya begitu dalam novel "Musashi" yang ditulis oleh Eiji Yoshikawa. Novel berjudul "Musashi" bercerita tentang perjalanan hidup seorang maestro pedang bernama Musashi. Musashi bukanlah tokoh fiktif, Musashi adalah tokoh yang benar-benar pernah hidup di Jepang. Menurut kata pengantar di bukunya, Musashi hidup antara tahun 1584-1645.

Takezo, veteran Perang Sekigahara (1600), menjelma menjadi Musashi setelah mengurung diri (belajar) di sebuah ruangan tua yang penuh dengan buku, selama 3 tahun dibawah 'bimbingan' seorang pendeta Zen bernama Takuan. Demi untuk mencapai cita-citanya yaitu kesempurnaan 'Jalan Pedang', Musashi mulai berkelana untuk mematangkan diri dan menguji ilmu pedangnya dengan cara menantang perguruan-perguruan samurai yang paling terkenal di Jepang saat itu.'Jalan Pedang' adalah pilihan hidup yang mendedikasikan diri pada kesempurnaan berpedang, penyatuan jiwa dalam pedang yg akhinya bermuara
pada penyatuan diri dengan alam.

Dengan tinggi badan sekitar 175 cm (diatas rata2 orang Jepang pada masa itu), Musashi dengan mudah mengalahkan lawan-lawannya. Mengalahkan lawan bagi sosok Musashi adalah sangat mudah, dengan rata-rata hanya sekali tebas semua lawan2nya juntai tak berdaya. Tantangan terberatnya adalah justru mengalahkan dirinya sendiri yang liar, kasar, buas dan sering cepat merasa puas. Dari berbagai pertarungan dengan tokoh2 samurai kelas satu, Musashi semakin mengenal kelemahan dan kerapuhan dirinya. Semakin tahu
kelemahannya, semakin membara semangatnya untuk mencapai kesempurnaan.

Musashi berlatih dengan sangat keras, bahkan kadang-kadang orang lain mengira dia sedang menyiksa diriya. Bukan hanya latihan fisik saja, jiwanya pun dilatih untuk menjadi lebih disiplin. Bagi Musashi duel bukan hanya sekedar sabetan sebilah pedang belaka, bagi dia duel merupakan ritual jiwa ksatria yg suci (semangat busido?). Dia berlatih dengan keras karena dia sadar bahwa dia bukanlah seorang genius, dia hanyalah seorang 'biasa'. Seorang 'biasa' dengan cita-cita luar biasa.

Di tengah pencarian jati dirinya di 'Jalan Pedang', Musashi juga dihadapkan dengan sosok Otsu. Otsu adalah wanita dengan karakter yang sangat mempesona. Otsu begitu mencintai Musashi dengan seluruh hatinya. Hubungan antara Musashi dan Otsu juga menjadi daya tarik tersendiri bagi cerita ini. Hubungan yang rumit, penuh dengan kesedihan tapi bukan hubungan asmara yang cengeng.

Mungkin boleh dibilang hubungan percintaan antara Otsu dan Musashi adalah cinta platonik. Aneh memang hubungan asmara mereka. Otsu sadar bahwa kecil kemungkinan bagi dia untuk dapat mengikat hati Musashi yang sudah mengabdikan dirinya pada 'Jalan Pedang'. Otsu rela menderita demi Musashi, sama seperti halnya Musashi rela menderita demi 'Jalan Pedang'.

Semakin besar niat Musashi untuk mencapai kesempurnaan kehidupan 'Jalan Pedang', semakin besar pula cinta Otsu pada Musashi. Cinta Otsu pada Musashi adalah salah satu motivasi terbesar bagi Musashi dalam mencapai kesempurnaan 'Jalan Pedang'. Bahkan Musashi pernah berkata bahwa dia tidak akan mengecewakan Otsu dalam hal itu. Otsu juga demikian, dia berkata bawha dia tidak akan mencintai Musashi sedalam itu, kalau Musashi tidak mencintai pedangnya sepenuh hati.

Pada satu saat ketika Musahi jenuh dalam pencariannya dan sudah mau meninggalkan 'Jalan Pedang' dan ingin memilih Otsu, dia (Otsu) sendiri yang malah mendorong Musashi supaya meneruskan pencarian jati dirinya. Paradoks cinta segitiga. Kadang2 saya merasa kasihan pada Otsu, bahkan sempat terlintas di benak saya bahwa Otsu adalah wanita bodoh.

Karakter lain yang menonjol dalam cerita ini adalah Sasaki Kojiro. Seorang samurai yang sangat berbakat yang tujuan hidupnya adalah berduel dengan Musashi semata. Sasaki Kojiro lebih muda, lebih tinggi secara fisik dan konon lebih genius (lebih berbakat) dalam berpedang daripada Musashi. Dalam cerita ini digambarkan Sasaki Kojiro berwatak agak licik dan kejam. Meskipun berkarakter seperti itu, tapi kita tidak bisa menarik garis tegas bahwa Sasaki Kojiro adalah tokoh jahat dalam novel ini.

Duel antara Musashi dengan Sasaki Kojiro menjadi klimaks novel ini. Kisah duel klasik antara keahlian berpedang karena bakat alam (Sasaki Kojiro) dengan kesempurnaan berpedang akibat tempaan kerja keras (Musashi). Sasaki Kojiro diakui Musashi adalah lawan duel yang paling menakutkan yang pernah ditemuinya. Cerita duel sepadan dua jagoan ini menutup kisah pencarian jiwa Musashi.

Eiji Yoshikawa dengan runut dan sabar menggambarkan perkembangan karakter Musashi mulai dari hanya seorang pendekar jalanan yang hanya mengandalkan kekuatan dan kecepatan fisik belaka menjadi seorang seniman pedang dengan jiwa yang halus. Dalam kehidupan sebenarnya, Musashi juga adalah seorang pelukis dan penulis. Dia menulis sebuah buku yg berjudul "Gorin no Sho" (diterjemahkan ke dalam bahasa inggris dengan judul "The Books of Five Rings").

Pada Novel ini tidak ada jurus2 sakti seperti yang sering kita temui pada buku2 cerita silat ala Chin Yung atau pun Khu Lung. Tidak ada kitab2 sakti 'ces-pleng' yang ditemukan di gua. Mungkin para penggemar cersil akan sedikit kecewa karena tidak adanya unsur2 itu. Mungkin para wanita juga akan terkecoh dengan gambar sampul depannya yang menggambarkan sosok kereng Musashi yang sedang memegang dua bilah pedang. Karena konotasi pedang (pada umumnya) adalah darah dan kekerasan, sesuatu yang (pada umumnya) dihindari oleh wanita.

Tidak ada semua itu, yang ada hanyalah cerita menarik tentang pencarian jati diri seorang Musashi yang kebetulan memilih 'Jalan Pedang' dalam hidupnya. Cerita tentang pengorbanan, semangat hidup, kehormatan dan dedikasi.

Acungan jempol harus diberikan pada tim penerjemah novel 'Musashi'. Menurut saya, ini novel terjemahan yang bagus. Saya tidak tahu alasannya kenapa harus ada tim dalam menerjemahkannya (versi indonesia adalah terjemahan dari versi inggrisnya), mungkin karena bukunya terlalu tebal, sehingga tidak ada yg kuat melakukannya sendirian(?)

Sekarang Gramedia menerbitkan dalam bentuk hardcover yang sangat tebal, kalau tidak salah sekitar 900+ halaman. Saya baca yang versi 7 buku terpisah. Lebih enak bagi saya dalam membacanya karena bisa dibaca dimana saja dan tidak ada 'hambatan psikologis' malas baca karena terlalu tebal. Ini merupakan salah satu buku bacaan favorit saya.


(diambil dari kapanlagi.com, berhubung aq suka banget baca buku ini tapi gak bisa nulis resensi, akhirnya aq copy paste aja dah... :-D)

-4- Kontes Waria

"Eh, 17-an nanti bakal ada kontes waria loh", kata salah seorang mitra kerjaku yang juga penduduk lokal. Wauw... aku tertarik ingin melihat komunitas para waria yang katanya banyak beredar di sekitar Lebong dan Rejang Lebong sini. Sebanyak itukah jumlah mereka sampai-sampai dirasa perlu diadakan kontes. Jujur, aku penasaran. Selama aku berada di sini, aku baru bertemu dan bertatap muka langsung dengan satu waria saja.

Peringatan 17 Agustus dipusatkan di Lapangan Hatta. Berbagai macam kegiatan diadakan, mulai dari pameran pembangunan sampai baris-berbaris. Muara Aman benar-benar meriah.

Suatu malam, beberapa hari sebelum tanggal 17 Agustus, aku dan seorang teman (yang juga pendatang) kebetulan keluar mencari logistik alias makan malam. Gerimis menghiasi malam itu, dingin, enaknya makan bakso neh. Sebelum ke kedai bakso, iseng kami mampir ke Lapangan Hatta, melihat-lihat kegiatan. Ternyata malam itu diadakan kontes waria. Hmm, kebetulan sekali.

Terlihat seorang Bapak sedang memberi sambutan sekaligus membuka acara. Aku tidak tahu siapa Bapak tersebut. Aku hanya mendengar sedikit isi dari sambutan Si Bapak, yang intinya begini: "Para waria adalah saudara kita juga. Jangan jauhi mereka, dukung mereka, fasilitasi mereka, dan bla bla bla..." Batinku berontak, tapi aku hanya bisa beristighfar sambil berpikir bahwa terdapat unsur eksploitasi disini.

Setelah sambutan selesai, kontes dimulai. Oooh, ternyata para wanita aneh yang sejak tadi duduk di atas panggung dengan kostumnya yang 'wah' adalah para waria peserta kontes. Tadinya aku sudah curiga karena beberapa wanita tersebut masih terlihat berwajah pria. Tapi, tidak sedikit yang benar-benar bergaya wanita. Bahkan... ada waria yang mengenakan jilbab. Astaghfirullahaladzim... Sejenak aku bingung, dunia seperti apa yang sedang aku pijak saat ini. Aku merasa keberadaanku di sini adalah salah.

Aku masih berdiri ditempatku dengan pikiran yang telah melanglang buana kemana-mana. Seorang waria mengenakan atasan berupa kemben yang dipadukan dengan bawahan panjang tapi dengan belahan yang tinggi pada paha. Benar-benar seksi. Penonton bersorak-sorai menggoda kontestan. Aku jijik. Kontestan lain bergaya layaknya penyanyi dangdut dengan goyangannya yang meliuk-liuk. Suasana tambah ramai. Dan kontestan yang berjilbab berusaha berjalan di atas pentas dengan anggun. Kepalaku semakin sakit. Di saat ada pria yang ingin menjadi wanita yang menutup auratnya, masih banyak wanita yang sama sekali tidak tergerak untuk menjaga auratnya. Aku tidak tahan lagi. Aku merasa sangat berdosa berada di antara para penonton. Segera kuajak temanku pulang.

Beberapa hari kemudian, aku bercerita pada rekan-rekan di kantor tentang kontes waria yang aku lihat malam itu. Lalu salah satu rekan berkomentar, "Kenapa kamu nonton... Kalo gitu berarti kamu mendukung dunk..."

Rasa berdosaku semakin menjadi-jadi *_*

-3- Lima Pelajaran Moral

Sekitar satu tahun yang lalu, aku tidak ingat kapan persisnya, waktu itu aku dalam perjalanan balik lagi ke Jakarta setelah libur lebaran. Pikiranku mengembara, merasa aku sudah tua karena satu minggu lagi aku diwisuda... dan... welcome 2 d jungle... Selamat menempuh dunia kerja yang ‘katanya’ jauh dari angan-angan idealis mahasiswa polos seperti aku. Halah... sok polos.

Bangku di deretan sebelahku diisi oleh seorang cowo, masih muda, tapi sepertinya lebih tua beberapa tahun dariku. Seperti biasa, aku mulai menganalisis objek yang saat itu sedang menjadi sasaranku. Wajahnya... wah, aku kurang tahu. Posisi duduknya sejajar di sebelahku. Jadi kan gak mungkin aku noleh, trus ngeliatin wajahnya. Enggak banget... biarlah masalah wajah ditunda dulu. Gaya berpakaiannya... hmm, tipikal mahasiswa, tapi berhubung (menurutku) dia lebih tua beberapa tahun dariku, maka pastinya dia sudah lulus kuliah, dan aku yakin juga sudah bekerja. Dilihat dari style-nya, hmm... sepertinya masih single. Dan melihat sandalnya... keliatannya kok ikhwan yah (loh kok??), hehehe.

Aku sudah selesai dengan kegiatan analisis subjektifku. Lalu apa lagi? Udah... selanjutnya ya biasa saja. Aku kembali mengembarakan pikiranku sampai kemudian tertidur. Memang, yang paling enak dilakukan selama perjalanan adalah tidur.

Menjelang isya bus berhenti untuk istrahat. Berhubung aku tidak sedang ingin makan, maka aku turun sekedar buat beli coklat. Ummm, aku benar-benar suka coklat ^_^. Sebelum bus kembali berangkat, cowo tadi sempat menyapaku, lalu kami ngobrol sedikit. Dari obrolan singkat itulah, aku tahu bahwa cowo tersebut adalah kakak tingkatku di SMU dulu, lulusan tahun 1999 (4 tahun di atasku), kuliah di Unsri, tapi sudah lulus, dan sekarang sudah bekerja. Aku gak tahu kerja dimana, coz aku gak minat untuk bertanya lebih lanjut. Bahkan, wajahnya pun aku lupa. Hmm, godhul bashor ku kali ini pantas kuacungi jempol. Tumben, hehe...

Tengah malam bus mulai memasuki kapal, lalu meninggalkan Pelabuhan Bakahuni menuju Merak. Aku ingin sekali melanjutkan tidurku, tapi percakapan telepon cowo bahan analisisku tadi lebih menarik untuk disimak. Sebenarnya, sudah sejak tadi dia bicara lewat ponselnya. Begitulah, memanfaatkan gratisan Indosat (pada saat itu), membangunkan teman-temannya untuk menemaninya ngobrol dalam perjalanannya. Namun, pembicaraannya kali ini menarik minatku untuk menyiagakan telinga. Sepertinya, lawan bicaranya di seberang sana adalah seorang cowo juga, teman kuliahnya dulu.

Obrolan mereka berkisar banyak hal, mulai dari reunian pas lebaran kemarin, sampai bisnis otomotif yang digeluti Murobbinya sekarang. Nah, dari sini aku tahu bahwa cowo ini ngaji (baca: ikhwan). Lalu... bukan cowo namanya kalo sama sekali gak ngomongin cewe (terutama akhwat).

Sekarang aku sebut Si Cowo dengan Ikhwan A, dan lawan bicaranya adalah Ikhwan B. Mereka sedang membahas tentang adik kelas mereka waktu SMU dulu, seorang akhwat yang kerja di sebuah bank konvensional setelah lulus kuliah (kebetulan aku tahu akhwat yang dimaksud). Ikhwan A sangat menyayangkan akhwat tersebut menikah dengan teman seangkatannya, yang menurutnya tidak pantas mendapatkan Sang Akhwat. Menurutnya, akhwat tersebut bisa mendapatkan suami yang lebih baik, yang berlabel ikhwan, dan juga ngaji. Sangat disayangkan akhwat sekaliber adik tingkatnya tersebut berdampingan dengan cowo yang biasa-biasa saja, bahkan tidak terlalu mengenal Islam. Begitulah menurutnya...

Pelajaran moral nomor 1... untuk apa mengurusi siapa yang dipilih oleh orang lain sebagai pendamping hidupnya. Apakah itu salah satu cara menyalurkan hasrat yang tidak tersampaikan? ^_^

Selanjutnya, percakapan berubah... tapi tetap seputar akhwat. Ikhwan A dan Ikhwan B membicarakan tentang akhwat-akhwat di sekitar mereka. Ceritanya, ni ikhwan pengen mencari akhwat yang berdomisili di kota asalnya untuk jadi pendamping hidupnya. Percakapan mereka sangat panjang, sampai pada potongan berikut:
Ikhwan A: “Emang siapa aja siy teman-teman di tempat kita yang akhwat?”
Ikhwan B: “....”
Ikhwan A: “Eh, Si X juga akhwat... trus Si Z juga.”
Ikhwan B: “....”
Ikhwan A: “Udah siy...gak ada lagi yang akhwat, cuma sedikit itu aja. Kalo yang lainnya siy... BIASA-BIASA AJA.”

Pelajaran moral nomor 2... Cewe-cewe, Anda akan selalu menjadi bahan pembahasan kaum Adam, lalu secara sepihak Anda akan dianugerahi grade tertentu. Ooh, wahai kaum Adam, aku sebagai kaum Hawa gak akan protes atas grade yang kalian anugerahkan, asalkan kalian sudah punya sertifikat RESMI untuk menilai.

Pembicaraan berlanjut. Dari suara Ikhwan A yang kudengar (aku gak bisa dengar Ikhwan B ngomong), mereka sedang membahas mengenai kisah hidup Ikhwan B. Ceritanya Ikhwan B pernah berproses dengan seorang akhwat yang sekampus dan seangkatan dengan mereka dulu, tapi gak tahu kenapa, Ikhwan B menolak. Lalu terjadilah penggalan obrolan berikut:
Ikhwan A: “Akhwat yang mana siy B?”
Ikhwan B: “....”
Ikhwan A: “Teknik elektro? Yang mana yah?”
Ikhwan B: “....”
Ikhwan A: “Akhwat idola, di elektro... siapa siy? Kok aku gak tahu...”
Ikhwan B: “....”
Ikhwan A: “Udah...intinya aja degh... CAKEP gak?”
Ikhwan B: “....”
Ikhwan A: “Kenapa gak mau? Kalo gak mau, buat aku aja...”

Pelajaran moral nomor 3... seakhwat-akhwatnya cewe, pertanyaan inti dari seorang ikhwan tetep aja, “CAKEP gak?”. Trus kalo cakep, akhwat akan punya posisi tawar yang tinggi. Wah...wah...

Dasar cowo, mau berlabel ikhwan gimana juga, tetap punya sisi kemanusiawian. Tapi setelah tiga pelajaran moral di atas, masih ada dua pelajaran lagi.

Pelajaran moral nomor 4... Ikhwan juga manusia, dan akhwat... juga sama. Sesama manusia harus saling ‘memanusiawikan’.

Pelajaran moral nomor 5... Tidak semua pelajaran moral di atas harus Anda setujui ^_^

Jumat, 16 Januari 2009

-2- All Awards

Berikut adalah kumpulan award yang telah diberikan kepada It's The Real WEE.
Terimakasih banyak kepada para pemberi award atas apresiasinya.

Award dari Coretan Harian Anak BJM


Award dari Fatamorgana


Award dari Anjos Blog






Award dari Fatamorgana


Award dari Mas Doyok


Award dari Pras 2009

Kamis, 15 Januari 2009

-1- Si Empunya Blog

Siapa sih yang punya blog ini?
Hemm, penting yah?
Gak penting ahh...
Tapi... penting gak penting yang penting menurutku penting, hehe...

Perkenalkan... Aku adalah seorang blogger pemula. Tertarik bikin blog sudah cukup lama, tapi berhubung rada gaptek, dengan mudahnya aku langsung bilang bahwa ngeblog itu susyahh. Nah, awal 2009 lalu, entah kenapa keinginan ngeblog muncul lagi dan langsung mencapai level tertinggi. Alhasil, lahirlah blog yang satu ini, setelah sebelumnya begitu banyak blog kubuat dan gak ada satupun yang diisi.

It’s The Real WEE

Setelah puas bikin blog dimana2, puas gonta ganti URL, puas bikin email berkali2 karena dah keabisan email buat didaftarin... aku pun insyaf. Kalo gitu terus, kapan aku bisa konsen nulis (gaya banget seh...). Akhirnya aku membuat sebuah keputusan:
1. Blogger yang aku pilih.
2. http://23tahun.blogspot.com/ sebagai URL-nya.
3. Judul-nya It’s The Real WEE

Dan... sampai detik ini aku masih setia, dan akan selalu bertekad untuk setia ngurusin satu blog ini saja. Cukup satu. Tidak ingin direpotkan oleh blog2 lain. Dengan motivasi yang Insya Allah tidak berubah... hanya ingin menulis dan berekspresi di dunia maya. That’s all. So, aku memberikan apresiasi yang sangat besar kepada para blogger yang sudi mampir, membaca, bahkan jadi follower blog ini. Wow... Semoga dengan mampir kesini bisa terasa manfaatnya, meskipun hanya secuil. Oke guys, tengkyu 4 ur visiting, hepi reading, n always blogging ^_^