Selasa, 10 Maret 2009

-23- Si Miskin dan Rokok

Kerja di bidang statistik memang mengesankan. Tugas-tugas pencacahan di lapangan banyak memberikan pelajaran moral, secara langsung maupun tidak. Bertatap muka dengan responden ataupun sekedar memeriksa dokumen pencacahan, dengan sendirinya telah menorehkan pengalaman yang tidak akan pernah aku dapatkan seumur hidupku, jika secara kebetulan aku tidak berada di sini.

Salah satu survei paling mengesankan tapi juga menyebalkan adalah SUSENAS (Survei Sosial Ekonomi Nasional) Modul Konsumsi. Sumpe degh, rasanya bener2 mau muntah kalo dah tiba waktunya ngedit ni dokumen. Kayanya untuk modul konsumsi, mendingan jadi PCL daripada PML. Kalo jadi PML mending ke laut aja degh, hehe gak segitunya ding :D.

Oke, berhenti ngebahas soal modul konsumsinya SUSENAS. Bisa bikin bete berkelanjutan kalo dibahas. Mending bahas yang lain aja, yg lebih penting daripada sekedar capeknya nanya2in berapa banyak beras, gula, garam, ikan, sayur, de el el, de es te yang habis dikonsumsi responden selama seminggu yang lalu. Hmm, seandainya aku yang jadi responden, dengan senang hati akan kuusir tuw pencacahnya. Pegel euy, 3 jam ditanya2in gituan...

Beberapa hari lalu aku membaca sebuah artikel di detiknews yang ngebahas tentang Si Miskin Lebih Banyak Merokok Daripada Si Kaya. Di situ disebutkan bahwa perokok alias konsumen rokok kebanyakan berasal dari golongan ekonomi bawah, alias kelompok orang miskin. Nah, setelah baca ntu artikel, aku langsung inget SUSENAS. Dalam Modul Konsumsi, ada item pertanyaan berapa batang rokok yang habis dikonsumsi dalam suatu rumah tangga selama seminggu yang lalu.

Di daerah Lebong, pada umumnya responden SUSENAS adalah rumah tangga dengan tingkatan ekonomi menengah ke bawah. Oleh karena itu, kalo dicacah, mereka kebanyakan berharap lebih bahwa bakal dapet bantuan. Mental orang Indonesia kebanyakan memang gitu. Lebih suka tangan di bawah ketimbang tangan di atas. Upppss, fokus Wee, fokus....

Minggu lalu aku supervisi SUSENAS ke salah satu responden yang rumahnya di balik bukit sono. Sebuah rumah tangga dengan anggota rumah tangga berjumlah 5 orang. Ayah, Ibu, dan 3 orang anaknya (2 laki-laki dan 1 perempuan). Rumah tangga ini notabene nya petani yang hidup pas pasan, dan dari 3 laki-laki dalam rumah tersebut, 2 diantaranya merokok, masing2nya menghabiskan rata-rata 2 bungkus rokok sehari. 2 bungkus x 16 batang x 2 orang = 64 batang per hari = 448 batang seminggu = 28 bungkus seminggu = 112 bungkus sebulan = 1.344 bungkus setahun. Bayangkan berapa rupiah yang telah dikeluarkan oleh keluarga tersebut untuk memenuhi kebutuhan rokoknya. Jika harga sebungkus rokok Rp 8.000, maka dalam sehari keluarga tersebut mengeluarkan Rp 32.000, dalam seminggu Rp 224.000, dalam sebulan Rp 896.000, dan dalam setahun Rp 10.752.000.

Rp 32.000 terbuang sia-sia setiap harinya. Uang sebanyak Rp 224.000 lebih dari cukup jika dibelikan susu, ikan, dan daging untuk 5 jiwa. Rp 896.000 sebulan tidak sedikit jika digunakan untuk biaya sekolah anak-anak. Dan dengan Rp. 10.752.000, tidak semestinya seorang anak tidak kuliah. Lalu kenapa kebanyakan anak-anak tersebut hanya lulus SD? Atau paling banter juga SMU. Lalu kenapa rumah tangga tersebut tanpa malu-malu merasa berhak menerima BLT?

Jika suatu rumah tangga berpenghasilan puluhan juta rupiah tiap bulannya, dengan anak2 yang semuanya berpendidikam minimal S1, lalu tiap2 anggota rumah tangga mengkonsumsi rokok minimal 1 bungkus sehari, fine... Setidaknya mereka tidak menyandang gelar "besar pasak daripada tiang". Paling2 mereka hanyalah menjadi salah satu dari sedikit orang2 kaya yang bodoh. Namun suatu keluarga yang menghabiskan Rp 896.000 sebulan untuk rokok, dengan mengorbankan kecukupan gizi serta kelayakan pendidikan, adalah salah satu dari sekian banyak orang2 miskin yang bodoh. Miris memang, tapi begitulah adanya...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar