Sabtu, 29 Agustus 2009

-54- Tanpa Judul

Lucu, aku tersenyum melihat tingkah mereka. Ibaratnya anak-anak di pedalaman bumi antah berantah yang boro-boro bisa menggunakan handphone, melihat bentuknyapun mereka belum pernah. Meskipun mungkin pengibaratan yang kupilih ini kurang tepat, namun begitulah kira-kira. Bisa dibilang mereka norak, tapi norak jenis ini sangat indah.

Iri, aku iri melihat mereka. Sekedar iri dan bukan dengki. Aku juga iri ketika melihat mereka bertingkah norak. Aku ingin berada di situ, dalam suasana norak itu. Aku ingin bisa mengeluhkan hal-hal yang indah, sebagaimana kulihat mereka mengeluh dengan senyum yang tetap menempel di bibirnya.

Menggemaskan, sangat menggemaskan melihat kerepotan itu. Kerepotan yang sangat, ketahanan fisik taruhannya. Tapi nyatanya tak pernah binar indah di mata mereka lenyap, bahkan ia semakin terang. Seolah hidup ini sempurna sudah. Seolah tak ada lagi yang lain yang mampu mengalihkan dunia mereka.

Kesal, aku kesal mendapati diri ini hanya bisa menjadi penonton dan bukan pemain. Aku masih berdiri di sini menatap hampa, tak berani menuju lapangan. Mereka berjalan tegak meski kadang kulihat air mata menghias langkahnya. Air mata itu justru sebagai bumbu penyedap senyuman yang merekah setelahnya.

Ahh, apa bedanya aku dengan mereka. Aku juga bisa bahagia dengan duniaku. Aku menikmati hidupku. Aku tak merasa berbeda. Egoku bilang bahwa aku lebih beruntung. Namun, jauh di dalam hatiku aku menangis. Aku bahagia tapi aku tak punya tujuan dan tak punya tempat untuk berlabuh, mengatur strategi untuk kemudian melanjutkan hidup.

3 komentar:

  1. ngomongin cah ndeso ya. itulah enaknya cah ndeso. tidak ribet sama rumitnya modernisasi. masih bisa menikmati alam dengan puasnya

    BalasHapus
  2. Memang kadang iri juga sama Cah Ndeso. Namun bukan mereka yg sebenarnya berada dalam tulisan ini ^^

    BalasHapus
  3. Sebenarnya bukan ngomongin Cah Ndeso kok ^^

    BalasHapus