Wahhh, sudah lama banget gak posting. Saking lamanya, blog kesayangan yang tadinya dah punya pr 2, sepertinya sekarang pr-nya tidak terdefinisi. Hiks… tapi gak masalah. Kini aku datang dengan semangat baru, semangat untuk menulis. Buang semua kejenuhan dan kebosanan, uhuyy dramatis sekalleee…
Kali ini aku pengen berbagi sedikit ide, pengalaman, dan pemikiran. Jadi ceritanya beberapa hari lalu aku ke ibukota provinsi (red: aku tugasnya di kabupaten). Mumpung ke kota, sekalian ada yang mau aku beli ahh. Underwear… uppss.
Ada apa dengan underwear? Memangnya di kabupaten gak ada jual underwear? Ya ada lah… di wilayah paling pelosok Indonesia pun rasanya tetep ada yang jual. Masalahnya sekarang bukan pada ada atau tidaknya penjual pakaian dalam, melainkan pada dimana dan bagaimana benda-benda keramat tersebut dijual. Kebetulan aku termasuk tipe2 yang gak pede beli underwear di tempat2 penjualan yang terbuka. Oleh karena itu, aku lebih memilih belanja di mall atau toko2 tertentu yang tertutup (tidak terlalu banyak lalu lalang orang).
Dulu, aku pribadi gak pernah mau beli pakaian dalam (atasan dan bawahan) sendiri. Kalo mau beli, pasti sama ibu, bisa ikut ke tokonya atau sekedar nitip aja. Tapi kan gak selamanya aku ngetem di ketiak ibu. Aku kuliah, bukan satu atau dua bulan, melainkan empat tahun. Dalam kurun waktu selama itu, gak mungkin juga aku hanya beli pakaian dalam ketika sedang pulkam aja. Selain gak mandiri, juga merepotkan diri sendiri alias ribet.
Oke, balik lagi ke penjualan pakaian dalam. Aku sering menemukan pakaian dalam yang dijual layaknya barang2 obralan, dipajang begitu saja di pinggir jalan, dah gitu penjualnya cowo lagi. Benar-benar layaknya menjual sandal-sandal obral, mainan anak, ataupun promosi obat di jalanan. Wew, sempat terlintas dalam pikiranku… emang ada gitu yang mau beli? Hiii, pasti gak laku degh…
Namun, olala… ternyata anggapan selintas tersebut tidak benar sama sekali. Nyatanya, banyak kaum hawa yang mengerumuni penjual underwear murah meriah tersebut. Mereka mengobok2 tumpukan tekstil berwarna warni menarik, memilih-milih, bahkan… pernah kulihat kejadian yang mengagetkan, ketika beberapa ibu-ibu dengan cuek dan pedenya mencoba bra yang mereka rasa cocok. What? Apa aku gak salah liat? Sumpah, kaget banget pas pertama kali liat kejadian kaya gitu. Gak malu ya? Dipake? Dicobain? Dipas2in? Di antara sekian pasang mata (namanya juga pasar), dan yang paling pasti adalah di depan si penjual cowo… Bahkan, lebih parahnya si penjual juga ngasi komen. Ck ck ck… aku yang liatnya aja malu, kok bisa secuek itu yah... It’s really something new 4 me. Atau hanya aku aja yang lebay kali…
Begitulah. Sebuah fenomena yang mungkin biasa bagi beberapa orang, namun luar biasa menurutku. Kejadian yang mungkin tidak aneh bagi banyak orang, namun sempat membuatku tertegun dan geleng2 kepala sampai beberapa lama. Mereka yang terlalu pede dan cuek, atau aku yang terlalu dramatis yah… Hmm…
Kali ini aku pengen berbagi sedikit ide, pengalaman, dan pemikiran. Jadi ceritanya beberapa hari lalu aku ke ibukota provinsi (red: aku tugasnya di kabupaten). Mumpung ke kota, sekalian ada yang mau aku beli ahh. Underwear… uppss.
Ada apa dengan underwear? Memangnya di kabupaten gak ada jual underwear? Ya ada lah… di wilayah paling pelosok Indonesia pun rasanya tetep ada yang jual. Masalahnya sekarang bukan pada ada atau tidaknya penjual pakaian dalam, melainkan pada dimana dan bagaimana benda-benda keramat tersebut dijual. Kebetulan aku termasuk tipe2 yang gak pede beli underwear di tempat2 penjualan yang terbuka. Oleh karena itu, aku lebih memilih belanja di mall atau toko2 tertentu yang tertutup (tidak terlalu banyak lalu lalang orang).
Dulu, aku pribadi gak pernah mau beli pakaian dalam (atasan dan bawahan) sendiri. Kalo mau beli, pasti sama ibu, bisa ikut ke tokonya atau sekedar nitip aja. Tapi kan gak selamanya aku ngetem di ketiak ibu. Aku kuliah, bukan satu atau dua bulan, melainkan empat tahun. Dalam kurun waktu selama itu, gak mungkin juga aku hanya beli pakaian dalam ketika sedang pulkam aja. Selain gak mandiri, juga merepotkan diri sendiri alias ribet.
Oke, balik lagi ke penjualan pakaian dalam. Aku sering menemukan pakaian dalam yang dijual layaknya barang2 obralan, dipajang begitu saja di pinggir jalan, dah gitu penjualnya cowo lagi. Benar-benar layaknya menjual sandal-sandal obral, mainan anak, ataupun promosi obat di jalanan. Wew, sempat terlintas dalam pikiranku… emang ada gitu yang mau beli? Hiii, pasti gak laku degh…
Namun, olala… ternyata anggapan selintas tersebut tidak benar sama sekali. Nyatanya, banyak kaum hawa yang mengerumuni penjual underwear murah meriah tersebut. Mereka mengobok2 tumpukan tekstil berwarna warni menarik, memilih-milih, bahkan… pernah kulihat kejadian yang mengagetkan, ketika beberapa ibu-ibu dengan cuek dan pedenya mencoba bra yang mereka rasa cocok. What? Apa aku gak salah liat? Sumpah, kaget banget pas pertama kali liat kejadian kaya gitu. Gak malu ya? Dipake? Dicobain? Dipas2in? Di antara sekian pasang mata (namanya juga pasar), dan yang paling pasti adalah di depan si penjual cowo… Bahkan, lebih parahnya si penjual juga ngasi komen. Ck ck ck… aku yang liatnya aja malu, kok bisa secuek itu yah... It’s really something new 4 me. Atau hanya aku aja yang lebay kali…
Begitulah. Sebuah fenomena yang mungkin biasa bagi beberapa orang, namun luar biasa menurutku. Kejadian yang mungkin tidak aneh bagi banyak orang, namun sempat membuatku tertegun dan geleng2 kepala sampai beberapa lama. Mereka yang terlalu pede dan cuek, atau aku yang terlalu dramatis yah… Hmm…