Kamis, 21 Mei 2009

-45- Nasib Seorang Single

Pernahkah aku merasa tidak beruntung karena menjadi seorang single? Tidak... Aku tidak pernah merasa tidak beruntung menjadi seorang single sampai sebelum aku mulai tugas di Bengkulu. Sejak hari keberangkatanku ke Bengkulu sekitar 1 tahun yang lalu, sejak itulah mulai kurasakan sedikit demi sedikit ketidakberuntungan karena aku masih sorangan, single, perempuan, dan belum menikah.

Di tahun akademik 2003, aku memulai hidup jauh dari orangtua, tahun pertama kuliahku. Awalnya sedih, namun semua bisa berjalan sebagaimana mestinya sampai dengan Oktober 2007, ketika kuakhiri statusku sebagai mahasiswa dengan menambah sederet huruf di belakang namaku. Lalu apa? Yahh, sejak awal ngampus, aku sudah tahu akan konsekuensi bahwa setelah lulus kuliah akan bekerja dan ditempatkan di suatu daerah, bisa dimanapun, di bumi Indonesia ini. Gak masalah lah, itu bisa dipikirkan belakangan...

Setelah wisuda, langsung kerja. Sebelum benar2 kerja di tempat yang sesungguhnya, sampai Mei 2008 aku dan teman2 masih mondar mandir di kantor pusat. Masih hepi, bahagia bareng teman2, jalan kesana kemari juga gak masalah (secarraa... Jakarta gitu loh, jalan tengah malem juga gak yang serem2 banget), riang gembira dengan cara gaul dan berpenampilan masih sekelas anak kuliahan... cuek. Tidak ada yang salah. So, entar dulu degh mikir merid, senang2 aja dulu (itu pikiranku waktu itu...).

Tibalah saatnya aku harus memasuki kehidupanku yang sebenarnya. Saat tersebut diawali dengan keberangkatan ke Bengkulu, tempat aku ditugaskan. Waktu itu aku mulai merasa seorang diri. No friend, no family... Kloter Bengkulu berangkat belakangan, teman2 dekatku dah pada away duluan, gak ada teman yang mengantar, kecuali sesama penempatan Bengkulu. Gak ada keluarga yang nganter coz kami berangkat bareng langsung dari Jakarta. Gak ada teman yang bantuin packing seperti biasanya. Malam2 terakhir juga dihabiskan sendiri di rumah kontrakan. Uhh, what a bad time...

"Selamat Datang di Bumi Raflesia!"... Bumi tempat kami akan mengabdi (jiyyahhh, gaya banget). Kurang lebih sebulan kami masih di kantor provinsi, masih bersama, masih berjiwa anak2, hehe. Juni 2008 adalah saat untuk benar2 membuka mata, menuju jungle yang sebenarnya, berpisah menuju kabupaten masing2, menjaga diri sendiri, bertindak sendiri, dan yang pasti hidup sendiri. Menyedihkan karena semua harus dijalani sendiri. Menyedihkan karena ketidakmauanku merengek2 manja ke ortu. Gak tega bikin ortu khawatir. Menyedihkan karena aku harus berpijak pada kakiku sendiri, bergaul pada manusia lain sebagai individu yang "seharusnya" sudah dewasa. Padahal... di saat2 seperti itu aku butuh merengek, aku butuh mengeluh, aku butuh menangis. But, there’s no shoulder to cry on. Hiks...

Inilah awal dari ketidakberuntungan itu (beruntungnya juga banyak, tapi gak lagi pengen dibahas). Coba bayangkan tentang seorang perempuan muda (kan baru 23, hihi) yang sudah bekerja dan tidak tinggal dengan orangtuanya... Sungguh, betapa banyak fitnah yang mengintai. Setidaknya itulah yang kurasakan sampai sejauh ini.

Jika ketika kuliah dulu aku bisa cuek jalan bareng teman cowo A ketika harus mereparasi PC, atau jalan bareng teman cowo B untuk keperluan lain, maka sekarang tidak. Di sini bukan Jakarta, bisa2 dianggap cewe gampangan degh gw. Kalau dulu gak masalah teman cowo datang ke kontrakan untuk sekedar belajar bareng atau apapun, maka sekarang harus dihindari, ntar tiba2 malah digerebek dikira macem2. Ketika aku sebaiknya beramah tamah pada personel2 instansi lain yang bekerjasama dengan kantorku, yang notabenenya bapak2, jangan terlalu degh... bisa2 dicap penggoda suami orang. Juga kepada cowo yang iseng telpon atau datang ke kost, gak mungkin serta merta dijudesin meskipun ilfil setengah idup. Benci... Aku benci situasi seperti ini, meskipun memang begitulah resiko tinggal di lingkungan pedesaan. Tapi aku kemudian merenung, kenapa hanya saat situasinya seperti ini aku baru berpikir untuk menikah...

Karena aku perempuan dan masih single, banyak fitnah membuntutiku dan akan menyergapku dengan tiba2 ketika aku lengah. Ouw, rasanya ingin segera kuakhiri masa ini. Namun entah kenapa aku hanya mengeluh tanpa mau dan berani bertindak konkrit. Payahhh...

Sendiri memang indah, kawan... Tapi bahagia bila bersamanya ^_^

6 komentar:

  1. hehehe.. semoga Wee bisa lebih sabar dan arif dalam menjalani hiduo ini... Amiiin

    BalasHapus
  2. amiiinn juga... ternyata kalau dipikir SEKARANG, sendiri itu gak enak, hehehe...

    BalasHapus
  3. makanya mbak...cepetan nikah aja..
    kapan ya??
    kita senasib mbak...tapi ga sepenanggungan he..he..
    sekarang jalani aja, sambil memperbaiki diri, menunggu orang yang tepat yang akan datang di waktu yang tepat. he..he..arifah sok bijak banget ya???padahal...

    BalasHapus
  4. Hehe, iya lah mbak... kan namanya juga Mr.Right. Silakan senior duluan degh *hihi, sok banget nyuruh2 duluan.

    Lebih baik menunggu saat yang tepat karena hidup begitu singkat untuk dihabiskan bersama pilihan yang salah ^^

    BalasHapus
  5. Hahaha... sombong :p

    BalasHapus