Aku pernah berharap agar tidak dikaruniai rasa. Supaya aku tak perlu bersedih ketika harus kehilangan. Supaya aku tak perlu menangis ketika harus ditinggalkan. Supaya aku tak merasa pedih ketika harus mengabaikan. Supaya aku tak perlu terluka ketika harus merelakan. Supaya aku tak perlu berteriak atas setiap kemarahan. Supaya aku tak perlu tertawa atas kelucuan tak berkesudahan. Supaya aku hanya harus tersenyum, dengan setulus-tulusnya yang aku bisa. Sekali lagi tanpa rasa.
Aku pernah berharap atas kesendirian. Supaya aku tak perlu cemas jika harus mengacuhkan. Supaya aku tak perlu sungkan jika harus menyakiti. Supaya aku tak perlu berpura-pura atas kebahagiaan ataupun kepedihan. Supaya aku tak perlu mengenang setiap momen bersama. Supaya aku tak perlu berlari atas sebuah keraguan. Supaya aku tak perlu galau atas tingkah manusia manapun. Supaya aku tak perlu belajar bagaimana menghargai. Supaya aku tak perlu mengenal kata berbagi.
Sampai kemudian kulihat sorot itu. Sorot yang terpancar dari sepasang mata yang begitu indah, begitu damai, dan begitu menyenangkan. Saat itu aku bersyukur karena aku dikaruniai rasa. Aku masih dikaruniai rasa yang mampu membuatku layak untuk menangkap aura kesejukan hanya dari sepasang mata. Tenang dan polos. Seandainya ia sehelai kain, mungkin ia bukan sehelai kain putih jika putih itu adalah warna. Ia adalah sehelai kain bening dan transparan yang tidak mampu menyembunyikan apapun, dendam, angkara, tipuan, gulana, bahagia, sayang, juga kasih. Hanya hatinya yang terlihat. Hati yang membuat bahagia mata-mata manapun yang melihatnya, hanya jika pemilik mata-mata itu memiliki hati seorang ibu.
Sampai di suatu hari aku merasakan kerinduan, kerinduan yang sangat. Aku hanya ingin melihat sorot itu. Sorot yang mampu membuktikan bahwa aku mempunyai rasa. Sorot yang membuatku merasa begitu beruntung atas hidupku. Aku merasakan bahagia karena tidak pernah sendiri. Dan sungguh, aku tidak pernah tersiksa atas semua kerinduan itu. Maka aku bertanya pada hatiku, masihkah aku menginginkan kesendirian dalam duniaku? Sungguhkah aku sanggup jika aku harus benar-benar sendiri membentangkan layarku?
Aku hanyalah sekumpulan huruf yang kurangkai membentuk definisi atas apa dan siapa diriku. Aku pernah menyesali atas harapanku pada kesendirian dan tanpa rasa. Aku pernah menampar diriku atas setiap helaan napas yang kulakukan tanpa bersyukur. Aku juga menghardik suara hatiku yang entah merujuk pada cerita hidupku di bagian yang mana. Aku beruntung jalanku lurus. Aku beruntung telah dibekali banyak "karena". Aku juga beruntung karena tak pernah kehilangan kasih. Aku hanya khawatir, jika aku hari ini adalah perempuan yang rumit.
Aku pernah berharap atas kesendirian. Supaya aku tak perlu cemas jika harus mengacuhkan. Supaya aku tak perlu sungkan jika harus menyakiti. Supaya aku tak perlu berpura-pura atas kebahagiaan ataupun kepedihan. Supaya aku tak perlu mengenang setiap momen bersama. Supaya aku tak perlu berlari atas sebuah keraguan. Supaya aku tak perlu galau atas tingkah manusia manapun. Supaya aku tak perlu belajar bagaimana menghargai. Supaya aku tak perlu mengenal kata berbagi.
Sampai kemudian kulihat sorot itu. Sorot yang terpancar dari sepasang mata yang begitu indah, begitu damai, dan begitu menyenangkan. Saat itu aku bersyukur karena aku dikaruniai rasa. Aku masih dikaruniai rasa yang mampu membuatku layak untuk menangkap aura kesejukan hanya dari sepasang mata. Tenang dan polos. Seandainya ia sehelai kain, mungkin ia bukan sehelai kain putih jika putih itu adalah warna. Ia adalah sehelai kain bening dan transparan yang tidak mampu menyembunyikan apapun, dendam, angkara, tipuan, gulana, bahagia, sayang, juga kasih. Hanya hatinya yang terlihat. Hati yang membuat bahagia mata-mata manapun yang melihatnya, hanya jika pemilik mata-mata itu memiliki hati seorang ibu.
Sampai di suatu hari aku merasakan kerinduan, kerinduan yang sangat. Aku hanya ingin melihat sorot itu. Sorot yang mampu membuktikan bahwa aku mempunyai rasa. Sorot yang membuatku merasa begitu beruntung atas hidupku. Aku merasakan bahagia karena tidak pernah sendiri. Dan sungguh, aku tidak pernah tersiksa atas semua kerinduan itu. Maka aku bertanya pada hatiku, masihkah aku menginginkan kesendirian dalam duniaku? Sungguhkah aku sanggup jika aku harus benar-benar sendiri membentangkan layarku?
Aku hanyalah sekumpulan huruf yang kurangkai membentuk definisi atas apa dan siapa diriku. Aku pernah menyesali atas harapanku pada kesendirian dan tanpa rasa. Aku pernah menampar diriku atas setiap helaan napas yang kulakukan tanpa bersyukur. Aku juga menghardik suara hatiku yang entah merujuk pada cerita hidupku di bagian yang mana. Aku beruntung jalanku lurus. Aku beruntung telah dibekali banyak "karena". Aku juga beruntung karena tak pernah kehilangan kasih. Aku hanya khawatir, jika aku hari ini adalah perempuan yang rumit.