Apa istimewanya sebuah tanggal lahir? Sering otakku menjawab, ahh... sekedar tanggal yang harus dicantumkan setiap kali aku mengisi biodata standar. Benarkah cuma itu Wee? Benarkah tak ada hal yang istimewa? Jika memang begitu adanya, maka sebenarnya apa yang sedang kau harapkan pada tanggal itu? Tanggal yang hanya berlangsung 24 jam saja dalam setahun.
Baiklah, kuakui aku sedang membohongi diri sendiri. Kenyataannya aku adalah perempuan. Makhluk yang mau tidak mau telah lebih banyak menggunakan rasa dalam mengukur sesuatu. Kenyataannya aku bahkan tak pernah lupa jika kalender sudah menunjukkan tanggal 22 November, tanggal yang menandakan bertambahnya nominal usiaku. Tanggal yang menyedihkan. Yang akan membuatku terluka jika tak ada ucapan Selamat Ulang Tahun yang sempat mampir.
Hari ini lagi2 nominal umurku bertambah. Dua puluh empat tahun. Rela atau tidak rela harus kuakui bahwa usiaku menunjukkan bahwa aku adalah seorang perempuan dewasa, bukan ABG atau anak kemarin sore yang masih bertahan dengan prinsip sok lugu (lucu lucu dungu :D). Bukan remaja yang ketawa ketiwi di jalanan menikmati hidup di bawah tiang finansial orang tua. Bukan mahasiswa yang hendak bermain cinta di sela2 jadwal kuliah. I am an adult woman and I should live with it’s properties.
Dua puluh empat tahun, bilangan yang terlihat mengerikan di mataku. Ibarat tengah menyusuri lorong panjang yang terbentang kegelapan di hadapannya. Aku tak bisa melihat ke depan, hanya ke belakang yang aku bisa. Aku bisa melihat apa saja yang telah aku lewati tanpa aku bisa kembali untuk memunguti benda2 yang berceceran. Aku berbalik, menoleh ke belakang, lalu aku terbelalak. Ternyata lorong yang telah kulalui itu sangat panjang dan berliku. Entah berapa banyak harta benda yang tak sempat kupunguti selama aku melewatinya. Lalu aku menggigil, ngeri membayangkan sebuah pertanyaan, "Sudah kau apakan saja 24 tahun hidupmu itu?"
Empat tahun yang lalu masih kujalani hari2 dengan status mahasiswa tercetak pada KTP-ku. Delapan tahun yang lalu seragam putih abu2 masih menghiasi hari2 indahku. Sepuluh tahun yang lalu aku masih mengenakan dasi silang sebagai pelengkap kostum putih biru itu. Tiga belas tahun yang lalu aku tergila2 dengan cerita Merpati Putih-nya Enyd Blyton. Dan lima belas tahun yang lalu setiap Kamis siang aku masih setia menunggu terdengarnya lonceng sepeda Bapak Tukang Majalah yang membawakan majalah Bobo kesayanganku, berebut dengan kakak dan adikku untuk menjadi orang pertama yang membaca majalah itu. Semuanya berlangsung bertahun2 yang lalu. Bertahun2 yang seolah2 baru berlangsung kemarin saja.
Tahun ini adalah tahun ke sembilan sejak pergantian milenium yang dulu gemanya sangat hebat. Dan di tahun ini usiaku bertambah, tepat di hari ini, Minggu 22 November 2009. Selamat Ulang Tahun, Wee. Jatah hidupmu telah berkurang sebanyak 24 tahun, namun engkau tak dapat menghitung sisanya. Tinggalkan saja kemarinmu dan beranjaklah menuju esokmu...
Baiklah, kuakui aku sedang membohongi diri sendiri. Kenyataannya aku adalah perempuan. Makhluk yang mau tidak mau telah lebih banyak menggunakan rasa dalam mengukur sesuatu. Kenyataannya aku bahkan tak pernah lupa jika kalender sudah menunjukkan tanggal 22 November, tanggal yang menandakan bertambahnya nominal usiaku. Tanggal yang menyedihkan. Yang akan membuatku terluka jika tak ada ucapan Selamat Ulang Tahun yang sempat mampir.
Hari ini lagi2 nominal umurku bertambah. Dua puluh empat tahun. Rela atau tidak rela harus kuakui bahwa usiaku menunjukkan bahwa aku adalah seorang perempuan dewasa, bukan ABG atau anak kemarin sore yang masih bertahan dengan prinsip sok lugu (lucu lucu dungu :D). Bukan remaja yang ketawa ketiwi di jalanan menikmati hidup di bawah tiang finansial orang tua. Bukan mahasiswa yang hendak bermain cinta di sela2 jadwal kuliah. I am an adult woman and I should live with it’s properties.
Dua puluh empat tahun, bilangan yang terlihat mengerikan di mataku. Ibarat tengah menyusuri lorong panjang yang terbentang kegelapan di hadapannya. Aku tak bisa melihat ke depan, hanya ke belakang yang aku bisa. Aku bisa melihat apa saja yang telah aku lewati tanpa aku bisa kembali untuk memunguti benda2 yang berceceran. Aku berbalik, menoleh ke belakang, lalu aku terbelalak. Ternyata lorong yang telah kulalui itu sangat panjang dan berliku. Entah berapa banyak harta benda yang tak sempat kupunguti selama aku melewatinya. Lalu aku menggigil, ngeri membayangkan sebuah pertanyaan, "Sudah kau apakan saja 24 tahun hidupmu itu?"
Empat tahun yang lalu masih kujalani hari2 dengan status mahasiswa tercetak pada KTP-ku. Delapan tahun yang lalu seragam putih abu2 masih menghiasi hari2 indahku. Sepuluh tahun yang lalu aku masih mengenakan dasi silang sebagai pelengkap kostum putih biru itu. Tiga belas tahun yang lalu aku tergila2 dengan cerita Merpati Putih-nya Enyd Blyton. Dan lima belas tahun yang lalu setiap Kamis siang aku masih setia menunggu terdengarnya lonceng sepeda Bapak Tukang Majalah yang membawakan majalah Bobo kesayanganku, berebut dengan kakak dan adikku untuk menjadi orang pertama yang membaca majalah itu. Semuanya berlangsung bertahun2 yang lalu. Bertahun2 yang seolah2 baru berlangsung kemarin saja.
Tahun ini adalah tahun ke sembilan sejak pergantian milenium yang dulu gemanya sangat hebat. Dan di tahun ini usiaku bertambah, tepat di hari ini, Minggu 22 November 2009. Selamat Ulang Tahun, Wee. Jatah hidupmu telah berkurang sebanyak 24 tahun, namun engkau tak dapat menghitung sisanya. Tinggalkan saja kemarinmu dan beranjaklah menuju esokmu...