Teman-teman pernah mendengar Survei Perilaku Anti Korupsi?
Emang itu survei apaan Wee? Maksudnya gimana ya?
Hmm, kalau teman-teman gak tau, saya tetap gak mau bahas kerjaan ah. *idih, kok saya kayak lebay gitu ya, padahal gak ada juga yang nanya*. Saya cuma pengen ngasihtau, bahwa salah satu indikator tidak anti korupsi itu adalah adanya keinginan atau harapan dari dalam diri seseorang untuk mendapatkan imbalan atas sesuatu.
Jadi misalnya begini, ketika seseorang mengikuti acara kampanye salah satu calon gubernur, ada nggak harapan yang terbersit dalam hatinya bahwa dia ingin mendapatkan imbalan, mungkin beberapa puluh ribu setelah ikut kampanye tersebut. Nah, jika ternyata ada (walaupun sedikit), berarti ini adalah salah satu indikasi bahwa sebenarnya orang tersebut tidak anti korupsi. Kira-kira begitu. Keinginan semacam itu sebenarnya lebih berbahaya, karena hati yang seharusnya paling peka untuk menolak malahan berlaku permisif.
Sekarang saya mau sedikit cerita tentang berharap atau harapan. Rasanya wajar saja ya, harus malah, kalau dalam hidup seseorang harus mempunyai harapan. Harapan itulah yang akan menggiring kita untuk melakukan sesuatu sampai ia terwujud. Harapan itu yang membuat kita terus bergerak mendekatinya. Makanya penting sekali supaya harapan yang kita tanamkan dalam hati, atau kita wariskan kepada anak cucu kita berupa sesuatu yang positif. Tapi, kali ini kita tinggalkan dulu harapan yang dimaksud barusan. Kita cerita tentang harapan yang lain, harapan setelah kita melakukan sesuatu (untuk orang lain).
Harapan memang banyak ragamnya. Tak habis huruf menggambarkannya. Harapan yang saya ingin ceritakan di sini adalah harapan yang berupa imbalan. Sadar atau tidak, kita sering mengharapkan imbalan setelah melakukan sesuatu. Entah itu berupa materi ataupun sekedar suatu penghargaan dari orang yang kita bantu. Ketika kita mengerjakan kerjaan kantor yang lebih banyak daripada teman-teman lain misalnya, eh... secara tidak sadar kita berharap supaya mendapat honor lebih banyak juga. Atau ketika kita membantu memperbaiki komputer, kita berharap orang-orang menganggap kita 'lebih' dan berterimakasih kepada kita. Itu sekedar contoh sepele, tapi teman-teman yang sehari-harinya bekerja di lingkungan kantor pasti sangat paham. Sepertinya kita perlu sedikit wisata hati, mencermati kembali tentang ilmu ikhlas.
Saya tidak merasa jadi orang yang paling ikhlas. Hanya ingin mengajak teman-teman merenung kembali tentang ilmu ikhlas yang sudah diajarkan agama kita. Saya ingat rapat pertama kami dengan bos baru di kantor. Rapat yang benar-benar berkesan. Pak Bos bercerita tentang ikhlas, mengingatkan kembali tentang keajaiban ikhlas... dan saya ingin sekali mendokumentasikannya. Biar ceritanya tak hanya mampir ke otak saya, dan otak teman-teman lain yang ikut rapat. Biar teman-teman yang membaca blog ini juga diingatkan kembali, seperti halnya saya yang harus selalu diingatkan. Dan... semoga ini bisa menjadi amal jariah buat Pak Bos, amiinn :)
Iri-irian sama pekerjaan dan penghasilan di kantor... rasanya sudah jadi hal yang wajar ya. Apalagi menyangkut rezeki yang sayangnya seringkali hanya dimaknai dengan berapa rupiah yang bisa masuk ke kantong. Kita lupa, bahwa rezeki tak melulu urusan materi. Kita diberi kesehatan, punya anak-anak yang riang, keluarga lengkap... itu juga bagian dari rezeki. Kita juga lupa bahwa Allah sudah berjanji akan menambah nikmatNya jika kita bersyukur. Intinya, bekerja dengan ikhlas, berharap hanya kepada Allah... dan kita akan mendapatkan lebih dari yang kita bayangkan.
Belajar Ikhlas
Coba lihat ilustrasi di atas. Jika kita punya 1, lalu kita berharap mendapat 10, berapa yang kita peroleh? Ternyata hanya 0,1. Jika kita punya 1, lalu kita berharap mendapat 2, kita akan memperoleh 0,5. Bagaimana jika kita mempunyai 1 dan berharap mendapat setengah saja? Maka kita justru akan memperoleh 2, lebih banyak dari yang kita punya tadi. Dan... betapa ajaibnya jika kita punya 1, lalu kita tidak mengharapkan apapun atas apa yang kita punya tersebut (dalam hal ini berarti kita tidak mengharap imbalan apapun)... maka tak terhingga yang akan kita peroleh. Subhanallah...
Ini murni soal harapan. Sesuatu yang tidak bisa disentuh, hanya ada dalam hati manusia. Ini murni soal syukur, atas apa yang sudah kita peroleh. Kenapa kita sering ragu akan janji Allah? Bukankah Dia berfirman, "Dan jika kamu sekalian bersyukur atas nikmat yang Aku berikan, maka niscaya akan Aku tambah nikmat-Ku untukmu. Dan jika kamu sekalian kufur atas nikmat-Ku, maka sesungguhnya azab-Ku itu sangat pedih." (QS. Ibrahim: 7)
Perhatikan kalimatnya... Jika kita bersyukur, Allah bilang "... maka niscaya akan Aku tambah nikmat-Ku untukmu.". Dan ketika kita kufur, tidak bersyukur, Allah gak bilang akan mengurangi nikmatNya, melainkan Allah bilang... "...azab-Ku itu sangat pedih.". Subhanallah ya... :)
Filosofi sederhananya begini... Anggap saja kita hanya punya sepotong tempe dan sepiring nasi untuk makan siang. Ketika kita bersyukur mengucap alhamdulillah masih ada lauk, maka Allah akan menambah nikmat kita. Bukan dengan cara menambah lauk kita saat itu juga, melainkan dengan perasaan yang begitu nyaman ketika nasi dan tempe masuk ke mulut menuju lambung. Perut pun terasa kenyang. Hati kita rasanya tenang. Tapi coba kalau kita tidak bersyukur. Allah juga tidak akan mengurangi lauk kita saat itu juga, melainkan kita akan makan dengan bersungut-sungut, mungkin sambil mengomel. Tempe dan nasi terasa tidak enak, ketika makan tersedak, kerongkongan sakit, dan perut tidak terasa kenyang sama sekali. Hati gak nyaman... dan itulah semua azab-Nya.
Saya sendiri sering mendapatkan betapa Allah menyayangi saya. Ketika saya benar-benar tidak mengharapkan apapun setelah melakukan suatu kebaikan, justru di lain waktu Allah melimpahi saya dengan nikmat yang membuat saya berdecak kagum, betapa besar karunia Allah. Malahan, ketika saya kufur atau ingin mendapatkan imbalan... Allah kemudian melalui suatu kejadian berhasil membuat saya sadar agar kembali bersyukur. Betapa saya merasa Dia telah menjaga saya dari kekufuran yang semakin parah. Tinggal sayanya yang harus pintar berpikir, mencerna setiap ketentuan Allah atas hidup saya.
Allah lah yang menggenggam kehidupan kita. Hanya kepadaNya kita seharusnya berharap. Tentu kita percaya bahwa Dia tidak akan meninggalkan kita, gak akan nyuekin usaha keras kita, gak akan mengacuhkan doa-doa kita. Semoga kita selalu ikhlas dalam bekerja, juga dalam menolong sesama... lalu serahkan sisanya kepada Allah.
Etapi, trus apa hubungannya sama anti korupsi yang saya tulis di awal tadi ya... Ah, cuma prolog kok ^_____^
Emang itu survei apaan Wee? Maksudnya gimana ya?
Hmm, kalau teman-teman gak tau, saya tetap gak mau bahas kerjaan ah. *idih, kok saya kayak lebay gitu ya, padahal gak ada juga yang nanya*. Saya cuma pengen ngasihtau, bahwa salah satu indikator tidak anti korupsi itu adalah adanya keinginan atau harapan dari dalam diri seseorang untuk mendapatkan imbalan atas sesuatu.
Jadi misalnya begini, ketika seseorang mengikuti acara kampanye salah satu calon gubernur, ada nggak harapan yang terbersit dalam hatinya bahwa dia ingin mendapatkan imbalan, mungkin beberapa puluh ribu setelah ikut kampanye tersebut. Nah, jika ternyata ada (walaupun sedikit), berarti ini adalah salah satu indikasi bahwa sebenarnya orang tersebut tidak anti korupsi. Kira-kira begitu. Keinginan semacam itu sebenarnya lebih berbahaya, karena hati yang seharusnya paling peka untuk menolak malahan berlaku permisif.
Sekarang saya mau sedikit cerita tentang berharap atau harapan. Rasanya wajar saja ya, harus malah, kalau dalam hidup seseorang harus mempunyai harapan. Harapan itulah yang akan menggiring kita untuk melakukan sesuatu sampai ia terwujud. Harapan itu yang membuat kita terus bergerak mendekatinya. Makanya penting sekali supaya harapan yang kita tanamkan dalam hati, atau kita wariskan kepada anak cucu kita berupa sesuatu yang positif. Tapi, kali ini kita tinggalkan dulu harapan yang dimaksud barusan. Kita cerita tentang harapan yang lain, harapan setelah kita melakukan sesuatu (untuk orang lain).
Harapan memang banyak ragamnya. Tak habis huruf menggambarkannya. Harapan yang saya ingin ceritakan di sini adalah harapan yang berupa imbalan. Sadar atau tidak, kita sering mengharapkan imbalan setelah melakukan sesuatu. Entah itu berupa materi ataupun sekedar suatu penghargaan dari orang yang kita bantu. Ketika kita mengerjakan kerjaan kantor yang lebih banyak daripada teman-teman lain misalnya, eh... secara tidak sadar kita berharap supaya mendapat honor lebih banyak juga. Atau ketika kita membantu memperbaiki komputer, kita berharap orang-orang menganggap kita 'lebih' dan berterimakasih kepada kita. Itu sekedar contoh sepele, tapi teman-teman yang sehari-harinya bekerja di lingkungan kantor pasti sangat paham. Sepertinya kita perlu sedikit wisata hati, mencermati kembali tentang ilmu ikhlas.
Saya tidak merasa jadi orang yang paling ikhlas. Hanya ingin mengajak teman-teman merenung kembali tentang ilmu ikhlas yang sudah diajarkan agama kita. Saya ingat rapat pertama kami dengan bos baru di kantor. Rapat yang benar-benar berkesan. Pak Bos bercerita tentang ikhlas, mengingatkan kembali tentang keajaiban ikhlas... dan saya ingin sekali mendokumentasikannya. Biar ceritanya tak hanya mampir ke otak saya, dan otak teman-teman lain yang ikut rapat. Biar teman-teman yang membaca blog ini juga diingatkan kembali, seperti halnya saya yang harus selalu diingatkan. Dan... semoga ini bisa menjadi amal jariah buat Pak Bos, amiinn :)
Iri-irian sama pekerjaan dan penghasilan di kantor... rasanya sudah jadi hal yang wajar ya. Apalagi menyangkut rezeki yang sayangnya seringkali hanya dimaknai dengan berapa rupiah yang bisa masuk ke kantong. Kita lupa, bahwa rezeki tak melulu urusan materi. Kita diberi kesehatan, punya anak-anak yang riang, keluarga lengkap... itu juga bagian dari rezeki. Kita juga lupa bahwa Allah sudah berjanji akan menambah nikmatNya jika kita bersyukur. Intinya, bekerja dengan ikhlas, berharap hanya kepada Allah... dan kita akan mendapatkan lebih dari yang kita bayangkan.
Belajar Ikhlas
Ini murni soal harapan. Sesuatu yang tidak bisa disentuh, hanya ada dalam hati manusia. Ini murni soal syukur, atas apa yang sudah kita peroleh. Kenapa kita sering ragu akan janji Allah? Bukankah Dia berfirman, "Dan jika kamu sekalian bersyukur atas nikmat yang Aku berikan, maka niscaya akan Aku tambah nikmat-Ku untukmu. Dan jika kamu sekalian kufur atas nikmat-Ku, maka sesungguhnya azab-Ku itu sangat pedih." (QS. Ibrahim: 7)
Perhatikan kalimatnya... Jika kita bersyukur, Allah bilang "... maka niscaya akan Aku tambah nikmat-Ku untukmu.". Dan ketika kita kufur, tidak bersyukur, Allah gak bilang akan mengurangi nikmatNya, melainkan Allah bilang... "...azab-Ku itu sangat pedih.". Subhanallah ya... :)
Filosofi sederhananya begini... Anggap saja kita hanya punya sepotong tempe dan sepiring nasi untuk makan siang. Ketika kita bersyukur mengucap alhamdulillah masih ada lauk, maka Allah akan menambah nikmat kita. Bukan dengan cara menambah lauk kita saat itu juga, melainkan dengan perasaan yang begitu nyaman ketika nasi dan tempe masuk ke mulut menuju lambung. Perut pun terasa kenyang. Hati kita rasanya tenang. Tapi coba kalau kita tidak bersyukur. Allah juga tidak akan mengurangi lauk kita saat itu juga, melainkan kita akan makan dengan bersungut-sungut, mungkin sambil mengomel. Tempe dan nasi terasa tidak enak, ketika makan tersedak, kerongkongan sakit, dan perut tidak terasa kenyang sama sekali. Hati gak nyaman... dan itulah semua azab-Nya.
Saya sendiri sering mendapatkan betapa Allah menyayangi saya. Ketika saya benar-benar tidak mengharapkan apapun setelah melakukan suatu kebaikan, justru di lain waktu Allah melimpahi saya dengan nikmat yang membuat saya berdecak kagum, betapa besar karunia Allah. Malahan, ketika saya kufur atau ingin mendapatkan imbalan... Allah kemudian melalui suatu kejadian berhasil membuat saya sadar agar kembali bersyukur. Betapa saya merasa Dia telah menjaga saya dari kekufuran yang semakin parah. Tinggal sayanya yang harus pintar berpikir, mencerna setiap ketentuan Allah atas hidup saya.
Allah lah yang menggenggam kehidupan kita. Hanya kepadaNya kita seharusnya berharap. Tentu kita percaya bahwa Dia tidak akan meninggalkan kita, gak akan nyuekin usaha keras kita, gak akan mengacuhkan doa-doa kita. Semoga kita selalu ikhlas dalam bekerja, juga dalam menolong sesama... lalu serahkan sisanya kepada Allah.
Etapi, trus apa hubungannya sama anti korupsi yang saya tulis di awal tadi ya... Ah, cuma prolog kok ^_____^