Waktu itu kami sekeluarga sedang berada dalam perjalanan, tapi saya lupa-lupa ingat, itu perjalanan mau mudik atau malah habis mudik ya... Ah, whatever. Yang jelas ceritanya kami sedang di dalam mobil trus saya dan anak saya ngomongin tentang kereta api. Kira-kira begini:
Zaim : "Apa tadi Bunda, rel kereta api ya?"
Saya : "Bukan nak, di sini gak ada kereta api ya, kereta api itu adanya di tempat Yai (kakek)."
Zaim : "Kalau ada?"
Saya : "..... tapi gak ada kereta api di sini, nak...." (ini emaknya lagi mikir monoton)
Zaim : "Kalau ada?"
Saya : "..... adanya di tempat Yai...."
Zaim : "Kalau ada, Aim naik..."
Saya langsung merasa oon. Anak kecil aja bisa berpikir sederhana... dan benar. Lah, ini orang dewasa malah rigid dan kaku. Padahal anak hanya menginginkan jawaban yang bisa diterimanya dengan mudah. Jawaban yang positif tentu saja.
***
Di perjalanan yang lain lagi, kami sedang istirahat dan berhenti di salah satu rumah makan. Saya tidak begitu memperhatikan apa yang sedang dilakukan Ayah dan Zaim. Ayah sedang bersandar di sebuah tiang besi melintang semacam pagar. Lalu Zaim menendang pagar tersebut. Maksud hatinya ingin merobohkan pagar. Tentu saja tidak bisa, kokoh begitu. Kalau bisa? "Kalau bisa, Ayah jatuh...", katanya polos.
***
Hari beranjak malam dan kami masih berada dalam perjalanan. Catat ya, hari sudah malam, sekitar jam 19.30. Musik mengalun di dalam mobil.
Zaim : "Ayah, ini magrib?"
Ayah : "Iya, sudah magrib ya..." (ayahnya males ribet ini ceritanya, jadi jawab iya-iya aja)
Zaim : "Kok musiknya gak dimatikan?"
Ayah : ...tersadar, "Oh iya ya, Ayah salah, Ayah lupa ya, kalau magrib kan musiknya dimatikan. Makasih ya sudah diingatkan sama Aim..."
Kami sering sekali ketemu magrib di jalan pada Minggu sore ketika pulang dari rumah Mbah Uti (kalimat saya membuat seolah-olah magrib itu nama orang). Sepanjang jalan biasanya nyetel musik (harusnya nyetel ceramah ya...) dan ketika hampir magrib musik dimatikan. Kadang Zaim protes karena dia masih mau dengerin musik tronton-tronton (lagu Song for Children) favoritnya. Ayah selalu menjelaskan bahwa sudah mau magrib, musik harus dimatikan dan mulai dengerin ngaji menjelang adzan. Ternyata dia selalu ingat...
***
Ah, ini baru tentang satu anak, anak saya. Tentang satu anak ini saja tidak cukup kalimat untuk menceritakan pikiran sederhanya, yang mampu membuat orang dewasa seperti saya harus mengevaluasi diri sendiri, sudahkah saya berpikir secara sederhana dan tidak memperumit masalah?
Saya ingat lagi, ketika itu saya melarang anak saya membuang sampah di jalan melalui jendela mobil. Lain waktu saya sendiri yang melempar tisu ke luar jendela mobil dan anak saya melihatnya sambil bilang "Bunda kok buang ke luar?"
Atau saat anak saya minta susu terus menerus lalu kami katakan bahwa siang makan nasi kalau malam baru minum susu, kayak lagu pok ame ame. Ehh, pas malam dia bertanya, "Ini sudah malam?", "Iya ya, sudah gelap...", jawab saya. "Minum susu...", katanya lagi. Hehehe.... :)
***
Maha Suci Allah yang telah menyuguhkan kepolosan di depan mata, untuk diresapi lagi maknanya. Kenapa semakin bertambah usia kita, semakin kita kehilangan kejujuran dan kesederhanaan dalam berpikir. Kenapa semakin besar tubuh kita, semakin kita kehilangan konsistensi. Kenapa semakin luas interaksi kita, semakin rumit kita dalam menanggapi.
Saya hanya ingin berpikir sederhana, agar saya juga dapat memaknai semua hal yang sederhana dengan luas. Saya ingin belajar dari seorang anak kecil, yang bisa langsung tertawa setelah terjatuh, yang bisa melupakan setelah bertengkar, yang bisa terlihat biasa saja setelah menangis, yang bisa kembali mencium setelah bersalah. Siapa yang tak luluh coba?
Ya, sederhana saja, tak perlu pelik karena saya juga pasti akan berakhir dengan sederhana.
(maaf ya, judulnya gak nyambung, tadinya saya mau nulis tentang prinsip KISS, eh malah...) :)
Zaim : "Apa tadi Bunda, rel kereta api ya?"
Saya : "Bukan nak, di sini gak ada kereta api ya, kereta api itu adanya di tempat Yai (kakek)."
Zaim : "Kalau ada?"
Saya : "..... tapi gak ada kereta api di sini, nak...." (ini emaknya lagi mikir monoton)
Zaim : "Kalau ada?"
Saya : "..... adanya di tempat Yai...."
Zaim : "Kalau ada, Aim naik..."
Saya langsung merasa oon. Anak kecil aja bisa berpikir sederhana... dan benar. Lah, ini orang dewasa malah rigid dan kaku. Padahal anak hanya menginginkan jawaban yang bisa diterimanya dengan mudah. Jawaban yang positif tentu saja.
***
Di perjalanan yang lain lagi, kami sedang istirahat dan berhenti di salah satu rumah makan. Saya tidak begitu memperhatikan apa yang sedang dilakukan Ayah dan Zaim. Ayah sedang bersandar di sebuah tiang besi melintang semacam pagar. Lalu Zaim menendang pagar tersebut. Maksud hatinya ingin merobohkan pagar. Tentu saja tidak bisa, kokoh begitu. Kalau bisa? "Kalau bisa, Ayah jatuh...", katanya polos.
***
Hari beranjak malam dan kami masih berada dalam perjalanan. Catat ya, hari sudah malam, sekitar jam 19.30. Musik mengalun di dalam mobil.
Zaim : "Ayah, ini magrib?"
Ayah : "Iya, sudah magrib ya..." (ayahnya males ribet ini ceritanya, jadi jawab iya-iya aja)
Zaim : "Kok musiknya gak dimatikan?"
Ayah : ...tersadar, "Oh iya ya, Ayah salah, Ayah lupa ya, kalau magrib kan musiknya dimatikan. Makasih ya sudah diingatkan sama Aim..."
Kami sering sekali ketemu magrib di jalan pada Minggu sore ketika pulang dari rumah Mbah Uti (kalimat saya membuat seolah-olah magrib itu nama orang). Sepanjang jalan biasanya nyetel musik (harusnya nyetel ceramah ya...) dan ketika hampir magrib musik dimatikan. Kadang Zaim protes karena dia masih mau dengerin musik tronton-tronton (lagu Song for Children) favoritnya. Ayah selalu menjelaskan bahwa sudah mau magrib, musik harus dimatikan dan mulai dengerin ngaji menjelang adzan. Ternyata dia selalu ingat...
***
Ah, ini baru tentang satu anak, anak saya. Tentang satu anak ini saja tidak cukup kalimat untuk menceritakan pikiran sederhanya, yang mampu membuat orang dewasa seperti saya harus mengevaluasi diri sendiri, sudahkah saya berpikir secara sederhana dan tidak memperumit masalah?
Saya ingat lagi, ketika itu saya melarang anak saya membuang sampah di jalan melalui jendela mobil. Lain waktu saya sendiri yang melempar tisu ke luar jendela mobil dan anak saya melihatnya sambil bilang "Bunda kok buang ke luar?"
Atau saat anak saya minta susu terus menerus lalu kami katakan bahwa siang makan nasi kalau malam baru minum susu, kayak lagu pok ame ame. Ehh, pas malam dia bertanya, "Ini sudah malam?", "Iya ya, sudah gelap...", jawab saya. "Minum susu...", katanya lagi. Hehehe.... :)
***
Maha Suci Allah yang telah menyuguhkan kepolosan di depan mata, untuk diresapi lagi maknanya. Kenapa semakin bertambah usia kita, semakin kita kehilangan kejujuran dan kesederhanaan dalam berpikir. Kenapa semakin besar tubuh kita, semakin kita kehilangan konsistensi. Kenapa semakin luas interaksi kita, semakin rumit kita dalam menanggapi.
Saya hanya ingin berpikir sederhana, agar saya juga dapat memaknai semua hal yang sederhana dengan luas. Saya ingin belajar dari seorang anak kecil, yang bisa langsung tertawa setelah terjatuh, yang bisa melupakan setelah bertengkar, yang bisa terlihat biasa saja setelah menangis, yang bisa kembali mencium setelah bersalah. Siapa yang tak luluh coba?
Ya, sederhana saja, tak perlu pelik karena saya juga pasti akan berakhir dengan sederhana.
(maaf ya, judulnya gak nyambung, tadinya saya mau nulis tentang prinsip KISS, eh malah...) :)