Seketika aku terbangun di suatu pagi setelah bermimpi tentang kemarin. Bahwa segala yang terjadi bahkan bisa diperbaiki, diatur ulang, dan dijalani kembali dengan sebijak-bijaknya. Bahwa semua yang sedang berlaku bahkan bisa diganti, diperankan mulai dari prolog, lalu lihat bagaimana hasilnya. Akankah tetap sama?
Aku terdiam dalam dudukku, entah sedang mencerna episode yang mana. Yang aku tahu aku bingung, aku sedang berada pada season berapa dalam ceritaku. Yang aku tahu aku heran, bagaimana bisa suatu skenario berubah dengan sendirinya di tengah pertunjukan yang sedang berlangsung. Dan perubahannya tak bisa kutebak, akan memilih adegan penutup yang seperti apa.
Teringat aku akan suatu malam ketika aku sedang bertanya padaNya. Pertanyaan yang kemudian tidak pernah kuulang karena pada dasarnya hatiku sudah tahu jawabannya. Sampai kemudian aku terhenyak. Mungkinkah jawaban yang kuyakini dulu bukanlah jawaban yang tepat? Haruskah kuulangi lagi pertanyaan itu? Pertanyaan yang jauh di dalam sana sangat ingin aku hindari.
Sungguh aku tak pernah berpaling dan mengingkari bahwa aku hanyalah manusia yang semanusia-manusianya. Sungguh aku tak pernah berniat untuk berjalan di jalanku, lalu melenceng mencari-cari perkara dan menyakiti yang lain. Aku juga tak hendak berpikir bahwa aku bisa menjelma malaikat. Aku punya rasa, meski dalam beberapa hal akulah orang yang paling tak berperasaan. Aku menggunakan logika meski dalam beberapa hal logikaku melayang entah kemana terkalahkan oleh ego.
Tidak jarang aku kembali menggali isi pikiranku. Aku bahkan tidak peduli sama sekali dengan hidupku selama hidup yang kujalani tidak meresahkan mereka, orangtuaku. Maka bersyukurlah aku dikaruniai orang-orang bijak yang telah menyumbang kebijakan dalam jalan ceritaku. Maka bersyukurlah aku karena sejauh ini orientasi hidupku menuju kutub positif.
Keterbatasanku adalah sangat. Kedewasaanku adalah temporer. Kesempurnaanku adalah mimpi. Namun hidupku adalah kenyataan yang senyata-nyatanya membutuhkanku untuk menjadi pribadi yang harus berpikir normal, rasional, dalam bingkai agamaku. Karena aku seorang muslimah.
Aku terdiam dalam dudukku, entah sedang mencerna episode yang mana. Yang aku tahu aku bingung, aku sedang berada pada season berapa dalam ceritaku. Yang aku tahu aku heran, bagaimana bisa suatu skenario berubah dengan sendirinya di tengah pertunjukan yang sedang berlangsung. Dan perubahannya tak bisa kutebak, akan memilih adegan penutup yang seperti apa.
Teringat aku akan suatu malam ketika aku sedang bertanya padaNya. Pertanyaan yang kemudian tidak pernah kuulang karena pada dasarnya hatiku sudah tahu jawabannya. Sampai kemudian aku terhenyak. Mungkinkah jawaban yang kuyakini dulu bukanlah jawaban yang tepat? Haruskah kuulangi lagi pertanyaan itu? Pertanyaan yang jauh di dalam sana sangat ingin aku hindari.
Sungguh aku tak pernah berpaling dan mengingkari bahwa aku hanyalah manusia yang semanusia-manusianya. Sungguh aku tak pernah berniat untuk berjalan di jalanku, lalu melenceng mencari-cari perkara dan menyakiti yang lain. Aku juga tak hendak berpikir bahwa aku bisa menjelma malaikat. Aku punya rasa, meski dalam beberapa hal akulah orang yang paling tak berperasaan. Aku menggunakan logika meski dalam beberapa hal logikaku melayang entah kemana terkalahkan oleh ego.
Tidak jarang aku kembali menggali isi pikiranku. Aku bahkan tidak peduli sama sekali dengan hidupku selama hidup yang kujalani tidak meresahkan mereka, orangtuaku. Maka bersyukurlah aku dikaruniai orang-orang bijak yang telah menyumbang kebijakan dalam jalan ceritaku. Maka bersyukurlah aku karena sejauh ini orientasi hidupku menuju kutub positif.
Keterbatasanku adalah sangat. Kedewasaanku adalah temporer. Kesempurnaanku adalah mimpi. Namun hidupku adalah kenyataan yang senyata-nyatanya membutuhkanku untuk menjadi pribadi yang harus berpikir normal, rasional, dalam bingkai agamaku. Karena aku seorang muslimah.