Setelah puas ngobrol via telepon dengan Umminya Daffa, aku melirik jam, hampir magrib. Hmm, motorku masih di teras kost, mesti dibawa masuk ne, begitu pikirku. Aku keluar. Baru saja jariku menyentuh stang motor, orang2 di sekitar rumah teriak, "Gempa..gempa..". Ibu kost tergopoh2 keluar rumah. Cucunya ibu kost yang baru kelas 4 SD dan sedang mandi pun berlari keluar masih dengan berbasah2 ria. Kami bertiga menunggu dengan was2 di teras rumah.
Sejenak dua jenak berlalu, goyangan bumi tak jua berhenti. O ow, ternyata gempa lumayan lama. Bumi berayun, mampu membuatku merasa pusing. Rupanya begini rasanya gempa. Setelah satu tahun lebih aku bertugas di bumi raflesia, baru kali ini aku benar2 bisa merasakan yg namanya gempa.
Beberapa menit berlalu, bumi tak lagi berayun. Namun nyatanya, sampai tulisan ini aku buat pun aku masih merasa diayun2. Itulah sugesti, dan memang benar kata ibu kostku, ketika sudah gempa sekali, maka setelahnya akan serasa gempa berkepanjangan.
7,6 SR di Sumatera Barat. Aku benar2 gak bisa membayangkan kepanikan di pusat gempa. Bangunan hancur, rumah bak kapal pecah, sanak saudara menghilang, dan yg pasti adalah trauma. Pikiranku lalu dipenuhi andai2.
Bagaimana seandainya gempa terjadi di sini. Semuanya luluh lantak, sanggupkah aku? Bagaimana seandainya gempa terjadi sementara aku sedang berada di kamar mandi? Gak kebayang degh. Aku teringat cucu ibu kost tadi dan cerita beberapa orang dengan pakaian seadanya ketika bencana terjadi. Wah wah...
Dan gempa kali ini pun menyisakan cerita. Seorang muslimah yg panik karena bumi berayun, keluar rumah dengan hanya mengenakan baju tanpa lengan dan celana pendek. Lalu tanpa diduga2 ia bertemu laki2 teman kantornya yang dengan sangat kebetulan lewat di situ. Betapa malunya. (Hehe, ceritanya diposting gak, Fren? ^^)
Pengalaman seorang teman tersebut menjadi pelajaran nyata buatku. Aku berkaca lalu menyimpulkan. Sepertinya kebiasaan menggunakan pakaian2 serba minimalis, meskipun di kamar sendiri sekalipun harus mulai dikurangi. Bukankah bencana tak mengenal waktu dan tempat...
*Teruntuk saudara2ku di Sumbar, semoga kita termasuk hambaNya yg sabar...
Sejenak dua jenak berlalu, goyangan bumi tak jua berhenti. O ow, ternyata gempa lumayan lama. Bumi berayun, mampu membuatku merasa pusing. Rupanya begini rasanya gempa. Setelah satu tahun lebih aku bertugas di bumi raflesia, baru kali ini aku benar2 bisa merasakan yg namanya gempa.
Beberapa menit berlalu, bumi tak lagi berayun. Namun nyatanya, sampai tulisan ini aku buat pun aku masih merasa diayun2. Itulah sugesti, dan memang benar kata ibu kostku, ketika sudah gempa sekali, maka setelahnya akan serasa gempa berkepanjangan.
7,6 SR di Sumatera Barat. Aku benar2 gak bisa membayangkan kepanikan di pusat gempa. Bangunan hancur, rumah bak kapal pecah, sanak saudara menghilang, dan yg pasti adalah trauma. Pikiranku lalu dipenuhi andai2.
Bagaimana seandainya gempa terjadi di sini. Semuanya luluh lantak, sanggupkah aku? Bagaimana seandainya gempa terjadi sementara aku sedang berada di kamar mandi? Gak kebayang degh. Aku teringat cucu ibu kost tadi dan cerita beberapa orang dengan pakaian seadanya ketika bencana terjadi. Wah wah...
Dan gempa kali ini pun menyisakan cerita. Seorang muslimah yg panik karena bumi berayun, keluar rumah dengan hanya mengenakan baju tanpa lengan dan celana pendek. Lalu tanpa diduga2 ia bertemu laki2 teman kantornya yang dengan sangat kebetulan lewat di situ. Betapa malunya. (Hehe, ceritanya diposting gak, Fren? ^^)
Pengalaman seorang teman tersebut menjadi pelajaran nyata buatku. Aku berkaca lalu menyimpulkan. Sepertinya kebiasaan menggunakan pakaian2 serba minimalis, meskipun di kamar sendiri sekalipun harus mulai dikurangi. Bukankah bencana tak mengenal waktu dan tempat...
*Teruntuk saudara2ku di Sumbar, semoga kita termasuk hambaNya yg sabar...