Jumat, 30 Agustus 2013

-112- Nathifa's Born (Part 1)

WARNING! TULISAN INI BUKAN UNTUK NAKUT-NAKUTIN BUNDA YANG MAU MELAHIRKAN, CUMAN BERBAGI CERITA SUPAYA PARA BUNDA MEMBERDAYAKAN DIRI SECARA MAKSIMAL SEMASA HAMIL. KALO ADA YANG TAKUT MELAHIRKAN, JANGAN DIBACA YA! ^_^

Hari itu Rabu, 19 Juni 2013 tepat jam 11.25 waktu rumah sakit, dan 11.27 versi jam-nya ayah, adek mulai melihat dunia. Kami bahkan belum punya nama yang pasti untuk putri kami. Proses kelahiran adek terbilang kurang maksimal dan optimal menurut saya. Kurang lembut... Semoga tidak menjadi trauma buat adek juga buat saya, karena kenyataannya sampai sekarang saya masih takut hamil lagi. Alhamdulillah adek dan bunda sehat2 semua.

Sebelumnya hpl adek menurut dokter 15 Juni 2013. Tapi gak ada tanda-tanda lahir apapun sejak dari sebelumnya sampai setelahnya. Sebelumnya saya masih sangat optimis dan percaya bahwa adek pintar dan akan memilih waktunya sendiri untuk bertemu kami. Lama-kelamaan saya jadi galau kok adek gak keluar2, mana cuti saya juga sudah melampaui 1 bulan sebelum lahiran. Apalagi dibanding perkiraan bidan yang hpl-nya 29 Mei, ini sudah melenceng jauh. Akhirnya Selasa, tanggal 18 Juni 2013 saya kontrol lagi untuk melihat perkembangan adek.

Sekitar jam 11.30 siang kami ke RS. Saya USG lagi, dan ini USG ke-10 selama hamil adek. Kondisi baik semua, posisi sudah pas. Hanya saja placenta sudah pengapuran (kata dokternya), berat janin diperkirakan sekitar 2,8 kg, dan tekanan darah saya masih bertahan di 100/90. Saya dibuatkan surat pengantar ke IGD untuk diinduksi. Kami minta pulang dulu untuk siap2 sambil menimbang lagi, apakah benar2 mau diinduksi dan akan bersalin di rumah sakit disini saja. Oiya, kontrol kali ini pertama kalinya saya diperiksa dalam alias vt. Sumpah, saya gak sukaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa, pake banget *angry*. Sakit... dan saya kurang bisa nerima bagian paling sensitif saya digituin orang. Tapi katanya memang begitulah seharusnya. Oh God... (elus2 dada ngebayangin gimana para ibu yg bersalin dengan obsgyn yang mayoritas laki-laki). Untung obsgyn saya perempuan, dan semua bidan yang 'megang' saya juga perempuan.

Kami pulang, sambil galau. Apa mau ke Bengkulu cari second opinion dan lahiran disana yang menurut suami saya lebih bagus. Entahlah, suami kayaknya rada takut saya melahirkan disini, takut fasilitas kurang memadai kalau nanti harus sc. Sementara saya sendiri gak mau lahiran dimana2 selain di wilayah tempat tinggal sendiri atau di rumah orangtua di Baturaja. Pilihannya hanya 2 itu saja. Pilihan yang paling nyaman menurut saya. Saya gak mau 'merasa' repot sendiri walaupun kenyataannya saya tinggak terima beres, gak ngapa2in. Yah yang namanya perasaan kan gak bisa dipaksakan ya. Nyamannya saya ya hanya saya yang bisa ngerasain.

Setelah tanya sana sini, pikir bolak balik, akhirnya sorenya kami ke RS dalam keadaan saya yang segar bugar. Rasanya aneh, gak sakit kok malah minta opname dan nginep di RS. Kayak cari2 masalah sendiri aja. Sebelumnya prosesnya panjang loh sampai kemudian keputusan diambil. Ada yang bilang daripada diinduksi mending langsung sc. Ada lagi pertimbangan dokter lebih tau mana yang lebih baik, jadi kalo disuruh induksi ya diturutin aja, yang penting adek kan memang sudah cukup umur dan ada alasan kenapa harus induksi. Ada juga perasaan ingin ngikutin naluri, percaya bahwa adek pintar, bisa menentukan sendiri waktu launching-nya. Atau pertimbangan ke Bengkulu dan kalau ternyata sama aja (harus induksi) berarti langsung balik lagi ke Arma dan lahiran disini. Tadinya mau opsi ini yang diambil, tapi malah rasanya ribet. Toh bagaimanapun saya gak mau lahiran di Bengkulu kok, jadi ya mending gak usah nyapek2in badan sendiri bolak balik Bengkulu-Arga Makmur cuman mau periksa lagi. Ibu Bapak saya di Baturaja pas dikabarin juga bilang terserah pertimbangan kami dan percaya aja sama dokter. DEAL... saya akhirnya siap2 keperluan saya dan keperluan adek. Sehabis ashar dan suami pulang kantor kami ke RS, menunggu gelombang cinta itu datang. Gelombang cinta yang agak dipaksakan karena bukan normal spontan.

Ketika berangkat ke RS, di rumah belum ada siapa2, jadilah Mas Aim tinggal sama Budhe Nar di rumah. Saya bahkan masih sangat ingat bagaimana perasaan saya saat itu. Saya masih merasa aneh, wong saya gak sakit kok. Dan saya tipe yang takut dengan jarum suntik. Beneran, saya takut disuntik dan seumur hidup saya saya belum pernah diinfus. Dan lagi, saya tau bahwa saya datang ke RS ini memang 'mencari sakit', memang minta disuntik, minta diinfus. Hiks... mungkin mental saya sudah jatuh duluan sebelum berjuang kali yah. Makanya perjuangan saya rasanya kurang maksimal. Waktu diperiksa, tekanan darah saya 110/90, naik dibanding siangnya. Karena tegang kali yah :D. Bidan juga bilang ke suami untuk siap2 pendonor darah jika nanti saya harus transfusi karena hb saya rendah.

Saya mulai diinduksi. Awalnya saya kira saya akan diinfus, rupanya enggak. Saya diinduksi dengan metode prostaglandin dimana ada tablet kecil yang dimasukkan ke vagina. Obat pertama dimasukkan sekitar jam 6 sore, dan itu kedua kalinya jalan lahir adek diobok2 orang. Saya semakin benci dan sepertinya harus bisa menerima proses itu (yang katanya memang begitulah seharusnya) karena setelahnya saya digituin terus. Ya Allah, beginilah perjuangan seorang ibu. Satu jam, dua jam, tiga jam... tetap gak ada rasa akan bersalin. Semua biasa aja. Ibu mertua, kakak ipar saya dan istrinya sudah datang. Malam itu (Selasa malam) saya bersama suami dan ibu mertua tidur di RS.

Menjelang jam 11 malam saya mulai mules2, rasanya pengen BAB. Saya bolak balik ke kamar mandi buat pis dan nyoba pup, tapi mulesnya tetap ada. Saya gak nyadar bahwa itu berarti saya sudah mulai kontraksi. Jam 12 malam bidan kembali memasukkan obat ke jalan lahir. Dan setelah itu proses persalinan yang sebenarnya segera dimulai. Saya semakin mules, bahkan perut saya cenderung sakit. Malam itu saya belum tidur sama sekali. Bolak balik kanan kiri tetep gak bisa tidur. Suami saya suruh tidur aja karena gak bisa juga bantuin saya ngurangin sakit. Lagian biar istirahat karena pasti akan capek sekali kalo proses lahiran sudah mulai. Palingan kalo ada apa2 saya bangunin suami, jadilah suami saya tidur-bangun-tidur... begitu terus.

Sekitar jam 1 malam saya coba pup dan kali ini benar2 pup. Tapi setelahnya kain yang saya kenakan terasa basah dan terlihat ada darah di lantai. Saya mulai panik dan bangunin suami, kenapa ada darah. Suami memanggil bidan dan bilang bahwa memang begitulah seharusnya. Berarti sudah mulai kontraksi dan ditunggu aja sakitnya. Owalah, sakit kok ditunggu ya... Ini aja udah gak bisa ngapa2in lagi, sakit terus2an tapi masih bisa ditahan.

Sepanjang malam saya gak bisa tidur, dan sekitar jam setengah 4 pagi ketuban mulai keluar. Rupanya seperti ini yang diceritakan teman2 tentang ketuban yang pecah duluan. Rasanya seperti keluar darah menstruasi, keluar begitu saja tanpa bisa ditahan, tapi bentuknya air kayak pipis. Bidan jaga mulai meminta saya pindah ke ruang vk (ruang bersalin) sebelum saya gak sanggup lagi berjalan. Sekitar jam 4 pagi saya masuk ruang vk dan dimulailah proses 'sakit' yang luar biasa itu. Saya masih ingat sekali detilnya kawan. Jika itu sebuah film, saya masih ingat setiap frame, setiap detiknya. Kami ke ruang vk, saya masih sanggup berjalan. Sakitnya masih bisa ditahan walaupun mulai tak nyaman.

Di ruang vk saya tidak diperkenankan meninggalkan tempat tidur, bahkan pipis pun harus di tempat tidur. Itu karena ketuban saya sudah pecah, rembes istilahnya. Soalnya keluarnya sedikit2 tapi terus2an. Rasanya lama kelamaan semakin sakit. Entah kenapa semua tidak sesuai dengan referensi saya. Katanya kontraksi akan berjalan awalnya dalam rentang waktu yang lama, lalu lama kelamaan jedanya semakin sebentar. Tapi kenapa saya merasa sakit terus2an dan jedanya hanya sebentar. Saya mulai diinfus dan itulah kali pertama dalam hidup saya, saya ditusuk jarum infus. Jujur saya takut. Saat itu saya ditunggui suami dan ibu mertua. Mereka gantian pas subuhan. Sekitar jam 6 Mas Eko dan Mbak Binti (kakak ipar saya dan istrinya) datang ke RS. Sejak saat itu Mbak Binti mulai ikut nungguin saya, terus sampai adek lahir.

Waktu rasanya berjalan begitu lama karena saya harus menahan sakit dan terus2an ketuban keluar setiap saya kontraksi. Sakitnya itu rasanya gimana ya... gak bisa diceritakan dengan kata2. Bukan sakit kayak sakit karena luka atau apa, tapi ah... entahlah gimana nyeritainnya. Kalau kata orang2 tua, gak ada sakit yang lebih sakit lagi selain sakitnya melahirkan, selain sakaratul maut tentunya (ya iyalah, emang ada gitu orang yg bisa nyeritain gimana rasanya sakaratul maut). Hari Rabu sekitar jam 7 pagi saya di vt dan katanya baru bukaan 1. Ya Allah, kenapa begitu lama sementara saya sudah sakit sekali. Mana ada bidan yang bilang bahwa untuk nambah 1 bukaan butuh 2 jam, berarti kalo mau sampai bukaan 10 saya butuh 20 jam. Masya Allah, rasanya saya gak sanggup kalau harus nahan sakit selama itu. Hiks... Tapi ada juga yang bikin saya senang, suami bilang kalau Nyek sama Yai (ibu dan bapak saya) mau datang, dan sudah mau sampai Bengkulu. Alhamdulillah. Tadinya ibu sama bapak memang akan datang kalau saya lahiran, tapi saya gak nyangka ternyata begitu dikabarin kemarin sore bahwa saya sudah mulai masuk RS, malamnya ibu-bapak langsung berangkat kesini. Oh I really love you, dear parents...

Saya disuruh makan supaya ada tenaga kalau harus mengejan nanti. Suami sibuk ngebujuk saya makan, nawarin susu lah, ini lah, itu lah... dan saya gak mau. Rasanya mual dan gak mood makan sama sekali. Gado-gado, semua campur aduk jadi satu. Istighfar, tasbih, tahmid, takbir... semua udah disebut terus. Lalu sekitar jam 8 pagi setelah saya berhasil makan 2 suap nasi saya mulai disuruh puasa karena ada kemungkinan akan sc. Puasa? Ayok aja, wong saya memang gak pengen makan sama sekali, hehe...

Jam 9 pagi saya di vt lagi dan katanya baru bukaan 4. Ya Allah, it's sooooo long... Sejauh itu sudah berkali2 adek didoppler, mungkin takut terjadi apa2. Bidan yang meriksa bilang kalau ketuban sudah habis dan kata dokter akan ditunggu sampai jam 11, kalau adek belum lahir juga akan di-sc. Katanya sih bayi bisa bertahan 6 jam kalau ketuban sudah habis, makanya suami juga cemas. Saya berkali-kali minta segera sc aja, gak tahan lagi rasanya. Keringat udah gak kehitung lagi berapa liter yang keluar (lebay). Entahlah... gak karuan semuanya. Saya dah gak peduli lagi dengan tubuh saya atau apapun yang terjadi di sekitar saya. Rasanya luar biasa sakit. Nunggu jam 11 kok lama sekali. Bahkan saya terus2an liat jam dan berlalunya waktu 1 menit pun terasa begitu lama akibat ngerasain kontraksi yang aduhai. Liat saya kesakitan banget gitu, juga permintaan sc terus2an juga bikin suami saya ikutan panik dan berkali2 nanyain ke bidan minta sc juga. Ah, rasanya kok saya sedang dejavu ya, saking ingatnya bagaimana perasaan saya waktu itu dan bagaimana kondisi di sekitar saya. Malahan, Mas Aim datang liat bundanya kesakitan nanya ini itu saya cuman bisa merem sambil bilang he eh, he eh gitu aja :D

Jam 10 pagi saya di-vt lagi dan katanya sudah bukaan 8. Ada harapan akan normal tapi rasanya tetap saja saya sulit untuk bertahan. Sakit banget banget. Saya diberi obat pengurang rasa sakit yang dimasukkan lewat infus dan gak ngefek sama sekali sampai saya sempat complain ke bidan dan dokter (saat dokter mulai menangani saya), kok obatnya gak bereaksi, rasa sakitnya tetap dahsyat. Bu dokter tertawa, katanya... ya memang begitulah kalau lagi lahiran, rasanya akan nano nano.

Jam 10.30 Bu Lingling, dsog yang menangani saya (alhamdulillah saya dapet dsog perempuan) mulai masuk ruang vk. Dimulailah waktu2 paling bersejarah dalam hidup saya. Kita lanjutkan lagi ke part berikutnya ya pembaca yang budiman, he... (terutama Adek Nathifa, nanti kalau ananda sudah besar dan mengerti). Cerita saya sudah kepanjangan. Diputus dulu untuk dilanjutkan kemudian. Daa daa... ^_^

Tidak ada komentar:

Posting Komentar