Selasa, 16 Oktober 2012

-96- Suamimu Tipe Berapa?

"Aduuhhhh, main futsal aja terus sih, anaknya tuh diurusin!", aku ngomel panjang kali lebar kali tinggi. Gemes tingkat dewa liat tingkah suamiku. Udah siap-siap mau pergi aja dia. Padahal, emak sama anak lagi ribet banget sekarang, mana gak ada yang bantuin. Enak aja si papi mau futsal-an ninggalin aku jungkir balik sendiri di rumah ngurusin anak, mana lantai belum disapu pula...

***

Kira-kira begitulah teman saya bercerita. Tentu saja gaya ceritanya malah membuat saya tertawa lucu. Soalnya dia bercerita dengan intonasi dan mimik wajah yang sama sekali tidak mirip orang yang sedang sebel. Hihihi, dan ceritanya terus berlanjut, bertambah menggelikan.

***

Aku terus ngomel layaknya kereta api, gak pake berenti. Gak berapa lama kemudian, kulihat dia masih di rumah, gak jadi berangkat main futsal.
"Kok, papi gak jadi main futsalnya?", tanyaku.
"Iya, abisnya umi ngomel terus...", jawabnya polos.

***

Hahaha, saya ngakak. Tulisan saya di atas tadi, yang menceritakan kembali ceritanya dulu, sama sekali tidak bisa menggambarkan lucunya gaya teman saya itu ketika ngomong. Ya, saya memang suka sekali mendengarnya cerita. Seru, lucu, dan terbuka. Jadi, gak pake sok rahasia-rahasiaan gitu deh. Kita juga kan males ya kalo dengerin cerita yang kayak masih dipakein cadar. Mending dari awal aja gak usah diceritain. Ya nggak sih?

Loh? Balik lagi ahhh ke jalan yang benar...

Begitulah, teman saya kemudian bercerita tentang betapa payahnya suaminya dalam urusan mengurusi anak. Makein celana anaknya aja gak bisa (apa iya ya?). Kadang-kadang mendingan Mr.Suami gak usah bantuin megang anak deh, soalnya yang ada malah bikin tambah repot, bukannya meringankan pekerjaan. Jadi inget ada teman lain lagi yang pernah bilang bahwa laki-laki kalo ikut ngurus anak malah bikin ribet aja. Eaaaa...

Nah, teman saya yang lucu tadi, dulu juga pernah ngasih info yang entah benar entah tidak. Katanya, tipe suami itu ada dua. Pertama, kalau dia tipe yang sayang sama istrinya, romantis gitu deh, pokoknya istrinya disayang terus, maka dia pasti bisa dibilang gak terlalu bisa ngurus anak. Kedua, kalau dia tipe yang sayang banget sama anak, bisa ngurus anak, biasanya istrinya gak akan disayang. Hmm, waktu si teman bilang gitu, saya sempat membantah, masa iya sih? Dengan sangat percaya diri dia menegaskan begitu dan menyuruh saya membuktikan sendiri nanti kalau saya sudah menikah (waktu itu saya belum menikah).

Kenyataannya, dilihat dari beberapa group sharing para emak-emak, memang pada umumnya para suami tidak terlalu becus dalam urus-mengurus anak atau membantu pekerjaan rumah tangga. Sama seperti teman saya tadi mungkin ya... Tapi ada juga kok yang baik hati, bisa ngurus anak dan suka bantuin kerjaan istrinya di rumah. Ada juga suami yang udah gak mau bantuin kerjaan rumah tangga. Semua mesti istri yang ngurus, padahal istrinya juga bekerja. Istri lagi masak plus beres-beres rumah (lagi ribet pokoknya), suami megang anak dan anaknya mau BAB, eehhh istrinya yang dipanggil, disuruh ngurus anaknya BAB. Mana suaminya gak ada romantis-romantisnya lagi, gak ada sayang-sayangannya sama istri. Aiihh lengkap sudah penderitaan istri...

Akhirnya, berdasarkan  info teman saya tadi, dilanjutkan dengan melihat-lihat dikit kesana kemari, saya mengelompokkan tipe suami menjadi empat tipe, yaitu:


1. Suami yang sayang sama istri, tapi gak terlalu sayang sama anak.
2. Suami yang sayang sama istri dan sayang sama anak.
3. Suami yang kurang sayang sama istri, tapi sayang sama anak.
4. Suami yang kurang sayang sama istri dan kurang sayang sama anak.

Pengelompokan di atas cuma iseng-iseng saja loh ya, tidak ada dasar ilmiah-nya. Tapi bolehlah kalau mau dijadikan kriteria bagi yang sedang memilih calon suami. Paling enak kalo dapet suami tipe dua, x dan y positif, hehehe, tapi amit-amit dah kalo dapet suami tipe empat. Makanya milih yang selektif ya girls...

Dan... saya juga jadi ingin menentukan, suami saya masuk tipe yang mana ya?

Lalu kamu... suamimu tipe berapa? ^___^

Jumat, 12 Oktober 2012

-95- Bercerita Itu Hebat Ya, Takita (Surat Balasan Untuk Takita)

 

Bagaimana kabarmu Takita sayang?

Semoga Takita tidak pernah bosan bercerita ya. Juga selalu membagi cerita tentang mimpi-mimpi Takita kepada banyak orang. Karena percayalah, melalui cerita Takita itulah orang dewasa seperti kami sering tersadar, sudahkah anak-anak kami mendengar kami bercerita? Sudahkah anak-anak kami belajar bercerita, tentang teman mereka, tentang mainan mereka, juga tentang bau-bauan yang mereka cium... dan tentu saja kami, Ayah dan Bundanya akan menyimak dengan tekun sambil bersyukur kepada Tuhan, betapa pintarnya anak kami.

Mimpi Takita adalah mimpi kakak juga. Kakak takut sendirian, sama seperti Takita. Kakak juga takut anak kakak merasa sendirian karena kakak tidak punya waktu untuk bercerita. Padahal sekedar cerita tentang sebuah alat berat yang sedang parkir di pinggir jalan menuju ke kantor, mampu membuat anak kakak melemparkan banyak pertanyaan dan memperpanjang cerita... dengan mata berbinar tentu saja.

Saat ini kakak mungkin hanya bisa bercerita tentang hal-hal sederhana kepada anak kakak. Cerita mengalir begitu saja layaknya tulisan yang punya banyak catatan kaki, banyak tanda bintang untuk menjelaskan arti kata-kata yang masih sulit dicerna anak berusia tiga tahun. Dan tahukah dirimu, Takita, ternyata anak-anak pun bisa menjelaskan tentang kata yang ia ucapkan dengan cadel agar bisa dimengerti oleh Ayah dan Bunda.

Berapa usiamu, Takita? Perkenalkan anak kakak, namanya Zaim. Usianya sekarang 3 tahun, dan ini beberapa ceritanya di rumah...

Zaim : "Tadi temennya Om Pebi didoteng...?" (bahasanya masih cadel)
Ayah : "Apa nak, didoteng?" (berusaha mencerna)
Zaim : "...bukan, didoteng..."
Ayah : "Didoteng?"
Zaim : (sambil berpikir) "Om Pebi naik motor trus temennya duduk di belakang?"
Ayah : "Oooo... dibonceng?"
Zaim : "Iya, tadi temennya Om Pebi didoteng?"
Ayah : "Enggak, bla bla bla..... *bercerita*....." (sambil tersenyum senang, anaknya sudah bisa menjelaskan)

---

Zaim : (sedang memegang sebuah permen) "Aim tu maunya permen tantai."
Bunda : "Apa nak, permen tantai?"
Zaim : "Permen yang ada tantainya..."
Bunda : (bingung) "Tantai itu apa?"
Zaim : (berpikir, diam sesaat) "Tunjuk, tunjuk..."
Bunda : "Oooo, tangkai ya?" (sambil tersenyum senang, anaknya sudah mengerti tentang sinonim)
Zaim : "Iya..." (tersenyum juga dan melanjutkan cerita dengan semangat)
Hehehe, ini biasanya Zaim menyebut tangkai permen lolipop sebagai "tunjuk", jadi Bunda langsung paham bahwa yang dimaksud adalah kata "tangkai" :)

---

Hebat ya, Takita. Ternyata bercerita juga bisa menjadi sarana belajar buat anak-anak, tentu saja juga buat orangtuanya. Suatu saat nanti, kakak ingin sekali bercerita tentang hal-hal yang lebih rumit, cerita tentang kehidupan, cerita tentang pengalaman, sekedar untuk memperkaya pribadi-pribadi yang tadinya bersemayam dalam tubuh-tubuh yang mungil. Seperti Takita mungkin.

Dan tubuh-tubuh yang tak lagi mungil itu, nantinya akan terus bercerita, bercerita tentang Ayah Bundanya, bercerita sepanjang zaman.

Teruslah bermimpi, Takita... Lalu ceritakan kepada dunia setiap kata yang ada dalam mimpi Takita. Karena mimpi akan menghilang begitu saja ketika tidak kita bagi. Takita dan kakak tidak ingin itu terjadi bukan?

Teruslah bercerita, Takita... Karena melalui cerita Takita, Ayah dan Bunda akan selalu tersenyum. Menyadari bertambahnya perbendaharaan kosakata yang bisa Takita gunakan, atau memperbaiki susunan kalimat Takita agar bisa dimengerti tidak hanya oleh Ayah dan Bunda... sungguh tak ternilai rasanya, sayang. Dan menemukan Takita menjadi dewasa lalu memeluk anak-anak Takita dengan hangat sambil bercerita tentang anak kucing yang tidak sengaja masuk ke dalam got... ahh, rasanya mungkin seperti memeluk surga :)

Teruslah bersemangat, Takita. Dengan semangat yang tidak pernah mati Takita akan menjelajah dunia melalui cerita.

Sampaikan salam kakak buat Ayah dan Bunda ya. Ceritakan kepada mereka tentang surat kakak yang sudah Takita baca.

Salam sayang kakak untuk Takita :)


Tulisan ini saya tulis untuk membalas surat dari Takita.

Senin, 01 Oktober 2012

-94- 1'st Anniversary

Satu tahun yang lalu pada tanggal yang sama seperti hari ini, harinya adalah Sabtu, dimana sekitar jam 2 siang kami melaksanakan akad nikah. Nothing's to celebrated memang. Hanya saja, di tanggal yang sama setahun kemudian, aku ingin mengenang bahwa pernikahan kami ternyata sudah mulai menginjak hitungan tahun. Meskipun baru angka satu, penunjuk bahwa kehidupan sebenarnya baru saja dimulai. Dan mungkin saja, hanya aku satu-satunya yang mengingat tanggal ini dengan baik.

Aku memang tidak suka perayaan ulang tahun, ulang tahun apapun. Tapi aku juga tidak menentang jika ingin menjadikan momen tersebut sebagai momen memberi hadiah, misalnya, atau sekedar memanfaatkan waktu yang pas untuk mengungkapkan doa dan sayang yang mungkin biasanya hanya tersimpan rapi di sudut hati. Apapun itu, yang penting aku harus selalu bersyukur atas setiap momen bersama, atas berlalunya setiap waktu. Aku ingin menghargai setiap pertambahan bilangan usia itu, karena belum tentu ia akan lama berpihak kepadaku.

Alhamdulillah Ya Rabb... Terima kasih banyak atas satu tahun yang telah Engkau berikan. Terima kasih banyak atas setiap suka yang telah Engkau anugerahkan. Terima kasih banyak atas setiap secuil pelajaran hidup yang begitu mahal, yang tak pernah kudapatkan dari sekolah formal manapun. Terima kasih banyak atas semuanya, yang menjadikanku ibarat keran air yang tiba-tiba menjadi tertutup, tak lagi bisa mengucurkan aksara untuk menceritakannya.

Teruntuk suamiku sayang

Sudah satu tahun sayang, dan ternyata kita bisa melewatinya. Alhamdulillah ya... Satu tahun pertama yang entah kenapa terasa begitu cepat berlalu. Bulan segera berganti tanpa hendak berhenti bahkan untuk menyapa. Satu tahun untuk saling mengenal lebih dan lebih lagi. Satu tahun untuk saling memahami lebih dalam. Satu tahun untuk mengendalikan ego demi menyambung potongan kayu yang telah diikrarkan untuk direkatkan selamanya, semakin kokoh seiring waktu. Satu tahun untuk semakin menguatkan tekad meraih mimpi. Satu tahun untuk menempa diri menjadi pribadi yang lebih baik lagi. Satu tahun untuk terus menerus menyemai benih cinta dan sayang, mengikat rasa dalam koridor yang benar, halal, dan diberkahi. Satu tahun untuk selalu belajar menyelaraskan langkah.
(Tuh kan, aku selalu gagal menahan air mata setiap kali memfokuskan perasaan ketika memaknai sebuah ulang tahun. Bagaimana bisa orang-orang itu merayakan ulang tahun dengan sukacita, tertawa senang seolah tahun berikutnya akan selalu ada. Bergembira atas berkurangnya jatah waktu untuk selalu bersama. Bagaimana bisa?)
Sudah satu tahun sayang. Aku bersyukur atas setiap waktu bersamamu, waktu yang begitu berharga, waktu yang ingin selalu kugenggam. Aku bahagia atas kasih sayang tanpa henti, yang kuyakin mampu menundukkan himalaya. Rasanya aku tidur dengan nyaman ketika engkau disampingku. Rasanya hidupku aman ketika engkau mendampingiku. (wadawww, aku kok melow amat nulisnya yak...)

And I call you, home...

Terima kasih sayang, atas peluk cium yang selalu kurindukan. Atas sayang dan perhatian yang tak pernah lelah. Atas seni berkehidupan yang sudah engkau bagi. Terima kasih sudah menjadi suami dan ayah terbaik bagi kami. Maafkan aku atas setiap ego yang tak mampu terkendali, atas setiap buruknya suasana hati yang tak mampu tersimpan, atas setiap kelalaian dalam mengurus urusanmu, atas semuanya... semua tugas yang mungkin belum mampu kupikul dengan benar.

Allah Engkaulah yang Maha segalanya, Engkau yang menggenggam kehidupan, Engkau sebaik-baik dalang, berkahilah kami selalu Ya Rabb. Jagalah keluarga kami, kuatkan ikatan kami, sucikan cinta kami, baikkanlah kami, jadikan kami senantiasa saling melengkapi sepanjang usia. Amiin...